Hati-hati Masuk Pesantren Abal-Abal

Hati-hati Masuk Pesantren Abal-Abal

- in Narasi
711
0
Hati-hati Masuk Pesantren Abal-Abal

Heboh kasus Pondok Pesantren Al-Zaytun merupakan dampak dari adanya pesantren abal-abal. Pesantren yang mestinya menjadi sumber ilmu agama Islam justru menjadi perusak ajaran. Lebih-lebih sejarah mencatat bahwa Al-Zaytun awalnya berada di bawah yayasan NII.

Perbincangan formal dan nonformal terkait pondok pesantren al-Zaytun pun kian merata. Ada mantan pegawai yang mengatakan bahwa pondok pesantren al-Zaytun dikelilingi oleh orang-orang berpaham NII. Al-Zaytun merupakan masa depan NII. Ada alumni yang merasa kecil hati karena merasa “dibohongi”. Begitu seterusnya.

Untuk itulah, para pencari pondok pesantren mesti mengetahui secara pasti pondok pesantren sehingga tidak salah dalam memilih. Sebagaimana dimaklumi bersama, unsur-unsur pondok pesantren antara lain adalah kiai, masjid, santri, pondok/asrama, dan kitab klasik (kitab kuning). Kiai dan kitab kuning merupakan dua elemen unik yang mampu membedakan sistem pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.

Kiai merupakan figur otoritas pondok pesantren karena perannya. Peran penting kiai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan, dan pengurusan sebuah pesantren merupakan unsur yang paling esensial. Keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik dan wibawa, serta keterampilan kiai. Dalam konteks ini, pribadi kiai sangat menentukan sebab ia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).

Sebagai figur otoritas, menjadi kiai tak sebatas memiliki ilmu agama dan cakap dalam transfer of knowledge saja. Kiai merupakan pilihan umat karena kedalaman ilmu agama (alim) serta akhlak yang luhur baik kepada Tuhan (hablum minallah) serta kepada sesama (hablum minannas) sehingga umat dengan sendirinya memiliki keinginan untuk mengikuti agar bisa tertular kebaikan/keberkahan.

Maka menjadi tidak heran manakala banyak kiai yang seakan tidak pernah memikirkan kehidupan diri dan keluarga. Waktu 24 jam dalam sehari habis digunakan untuk beribadah dan membimbing santri agar mampu meneruskan estafet penghambaan kepada Tuhan yang dimbangi akhlak mulia serta ilmu yang mumpuni.

Seorang kiai dipastikan bangun pada sepertiga malam terakhir untuk bermunajat kepada Tuhan akan kebaikan diri, keluarga, santri, dan seluruh jagat raya. Di kesempatan ini, sebagai seorang guru, kiai dengan khusyu’ berdoa kepada Tuhan agar para santri dimudahkan dalam menuntut ilmu serta memiliki akhlak yang mulia. Waktu subuh, kiai menjadi imam Shalat Subuh dilanjutkan dengan mengajar ilmu agama. Pagi hingga siang hari, kiai mengajari santri untuk bisa hidup mandiri atau memberikan kesempatan belajar di lembaga pendidikan formal. Siang hari hingga pertengahan malam, kiai menjadi imam shalat fardhu dan mengajar santri. Di sela-sela mengaji dan shalat jamaah, kiai terus membimbing akhlak santri sehingga tidak keluar dari ajaran luhur agama.

Dengan keberadaan kiai yang seperti inilah, dapat dipastikan para santri akan menjadi pribadi yang shalih, berilmu tinggi, berakhlak mulia, serta memiliki kemandirian. Lebih-lebih santri adalah sosok yang sangat mengidolakan kiai. Sebagai figur otoritas, kiai akan menjadi panutan para santri, bahkan dalam perilaku keseharian termasuk cara berpakaian hingga cara berjalan. Semua ini bisa terjadi lantaran kharisma kiai sangat besar dan santri selalu bangga apabila bisa menirukan, bahkan bagian terkecil dari kiainya.

Penyimpangan

Maka menjadi perkara yang tidak lumrah manakala akhir-akhir ini marak terjadi penyimpangan di pondok pesantren. Kekerasan fisik ataupun verbal marak terjadi di pondok pesantren. Belum sempat kita melupakan kasus pencabulan belasan santriwati di pondok pesantren yatim-piatu di Kawasan Beji, Depok, Jawa Barat serta di Jombang Jawa Timur dan belasan santri senior melakukan pengeroyokan terhadap santri junior hingga tewas di Cipondoh, Kota Tangerang, saat ini kita dihebohkan dengan adanya kontroversi pondok pesantren al-Zaytun.

Rangkaian kejadian tidak terpuji di pondok pesantren ternyata bermula dari lemahnya magnet figur otoritas di setiap pesantren. Sosok kiai tidak sesuai kualifikasi dipaksakan memimpin pondok pesantren. Julukan kiai yang mestinya didapat dari umat lantaran kealiman dan akhlak mulia tidak lagi dipakai. Sebutan kiai didapat lantaran mengkiaikan diri.

Dalam mendapatkan santri, seorang kiai mestinya bermula dari adanya calon santri yang ingin menimba ilmu kepada dirinya. Kiai pun akhirnya menyediakan tempat seadanya dan perlahan ada pembangunan fisik. Kiai bukan membangun gedung serta mencari tenaga pengajar untuk selanjutnya mencari santri. Model pendidikan seperti ini bukanlah pondok pesantren melainkan boarding school biasa. Lebih-lebih orang yang dikiaikan adalah pebisnis yang tidak memiliki kemampuan agama yang mumpuni. Ia hanya memiliki kelebihan harta dan semangat untuk beribadah dengan membangun lembaga pendidikan agama. Ia bukanlah kiai namun orang shalih yang mesti mendapatkan bimbingan dalam melakukan ibadah.

Maka sudah harus menjadi perhatian pemerintah dan wali santri akan keberadaan pondok pesantren yang menjamur akhir-akhir ini. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama harus bisa memilah manakah pondok pesantren sungguhan dan abal-abal. Kementerian Agama jangan hanya menilai dari berkas yang diberikan, namun harus terjun langsung, memastikan sudah terpenuhi atau belum unsur-unsur pondok pesantren. Jangan sampai ada pondok pesantren yang kiainya saja tidak bisa baca kitab kuning, apalagi memahami atau mengamalkan isinya. Bagi wali santri juga harus selektif dalam menitipkan anaknya dalam dunia pendidikan pondok pesantren. Jangan sampai lantaran gedung yang megah, mereka tertipu dengan keberadaan pondok pesantren abal-abal.

Pondok pesantren murni (memenuhi unsur-unsur) dipastikan akan menelurkan santri yang mumpuni dan berakhlak. Sementara, pesantren abal-abal dipastikan akan menjadi sumber masalah.Wallahu a’lam.

Facebook Comments