Al Zaytun, NII, dan Genealogi Teror di Indonesia

Al Zaytun, NII, dan Genealogi Teror di Indonesia

- in Narasi
440
0
Al Zaytun, NII, dan Genealogi Teror di Indonesia

Geger Pondok Pesantren Al Zaytun terkait afiliasinya dengan Negara Islam Indonesia Komendemem Wilayah 9 (NII KW 9) sebenernya bukan barang baru. Isu yang sama pernah mencuat beberapa tahun yang lalu. Bahkan, pada tahun 2002 Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah melakukan investigasi terhadap ponpes tersebut. Kesimpulannya, Al Zaytun memiliki hubungan dengan NII. Namun entah mengapa temuan itu menguap begitu saja.

Membincangkan NII, pada dasarnya adalah membahas ihwal genealogi alias asal-usul dan jejaring terorisme di Indonesia. Mustahil membincangkan silsilah atau sejarah gerakan terorisme di Indonesia tanpa memasukkan NII ke dalam salah satu sub-babnya.

NII bisa dibilang sebagai gerakan radikal-ekstrem kanan yang pertama kali muncul di Indonesia. Didirikan oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo pada 1949, NII lahir karena ketidakpuasan sebagian pihak atas sikap pemerintah pusat dalam perjanjian Renville. Kartosuwiryo dan sejumlah pihak menganggap perjanjian Renville merugikan rakyat Indonesia, terutama masyarakat Jawa Barat.

NII bukan sekadar gerakan subversif yang menggunakan kekuatan militer untuk melawan pemerintahan yang sah. Lebih dari itu, NII menjadikan ideologi Islam sebagai dalih perjuangannya. Artinya, NII tidak hanya menolak pemerintahan Sukarno tetapi juga menolak bentuk Negara Republik Indonesia dan ideologi Pancasila.

Singkat cerita, pemberontakan NII dapat dibasmi oleh pemerintah melalui operasi militer “Pagar Betis”. Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada 4 Juni 1962 di Gunung Geber. Ia dijaruhi hukuman mati dan dieksekusi regu tembak pada 12 September 1962.

Evolusi NII Pasca Kepemimpinan Kartosuwiryo

NII alias Darul Islam atau Tentara Nasional Indonesia memang berhasil ditumpas. Kartosuwiryo juga tewas oleh peluru regutembak. Namun, mimpi tentang negara Islam tampaknya belum sepenuhnya bisa dihapus dari benak sebagian orang. Terbukti, sepeninggal Kartosuwiryo NII bergerak secara klandestin alias sembunyi-sembunyi dan tertutup.

Para simpatisan NII tetap menyebarkan ideologi negara Islam dan merekrut anggota baru dari lintaskalangan. Mulai petani di desa hingga mahasiswa di kota. Pola rekrutmen NII ini terbilang halus tapi efektif.

Seorang teman penulis pernah bercerita bahwa dirinya pernah akan menjadi korban rekrutmen NII yang berkedok les TOEFL gratis. Jadi, di sela-sela pertemuan les itu, para peserta justru didoktrin untuk anti terhadap Pancasila dan mendukung gerakan negara Islam. Ironisnya banyak dari peserta les itu yang kepincut dengan propaganda tersebut. Kebanyakan dari mereka lalu aktif di NII dan tidak pernah meneruskan kuliahnya.

Terbukanya keran kebebasan demokrasi pasca 1998 membuat NII kian leluasa bergerak. Apalagi pasca dicabutnya aturan tentang gerakan subversi. NII seolah mendapat ruang gerak untuk terus bermanuver. Kebangkitan NII itu juga mendapatkan momentumnya dengan masuknya gerakan dan ideologi keislaman transnasional yang mengusung ide khilafah Islamiyyah.

Jika NII mengusung agenda mendirikan negara Islam di wilayah Indonesia, maka organisasi radikal seperti Jamaah Islamiyyah, Majelis Mujahidin atau Ikhwanul Muslimin memiliki agenda lebih besar. Yakni mendirikan imperium Islam yang menguasai seluruh dunia.

Gerakan radikal Islam transnasional ini juga dalam banyak hal memiliki sumber daya yang kuat baik dari segi pendanaan maupun jaringan. Berbeda dari NII yang selama ini lebih banyak tiarap dibawah tanah dan miskin sumber daya.

Pentingnya Menetapkan NII Sebagai Organisasi Teroris

Para simpatisan NII yang memang sudah mengalami proses radikalisasi dan militansi, seolah mendapat ruang baru dengan hadirnya gerakan Islam radikal transnasional tersebut. Maka, banyak simpatisan dan anggota NII yang lantas terjun sebagai aktor aksi teror seperti bom bunuh diri, penyerangan terhadap polisi, atau aksi perampokan yang diklaim sebagai harta rampasan (fa’i).

Dengan mengetahui genealogi terorisme itu kiranya kita bisa mengambil langkah preventif untuk memutus rantai dan jejaring terorisme. Mengamputasi NII sebagai ibu kandung dari seluruh gerakan terorisme di Indonesia adalah sebuah langkah mutlak yang tidak bisa ditawar. Usulan BNPT agar NII dimasukkan ke dalam daftar organsasi teroris perlu ditindaklanjuti oleh seluruh elemen bangsa, terutama DPR dan pemerintah.

Selama tidak ada regulasi hukum yang mengkategorikan NII sebagai organisasi teroris, maka para simpatisannya akan trus menyebarkan paham radikal-ekstrem dengan beragam cara. Termasuk berkamuflase ke dalam lembaga pendidikan atau pesantren. Tanpa ada landasan hukum yang jelas, aparat tidak bisa menindak para simpatisan NII yang memanfaatkan celah hukum dan kebebasan berekspresi untuk melemahkan prinsip kebangsaan dan kenegaraan.

Kita berharap, kontroversi Ponpes Al Zaytun yang dikaitkan dengan keberadaan NII KW 9 ini segera diusut tuntas. Negara harus hadir dan tidak boleh kalah dengan pihak-pihak yang berusaha menutupi fakta adanya relasi historis-ideologis antara Al Zaytun dan NII. Jangan sampai, kita memberikan ruang bagi para simpatisan NII haya atas nama demokrasi dan kebebasan berekspresi. Kita wajib sepakat bahwa kebebasan berekspresi dan demokrasi harus ada dalam koridor NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.

Facebook Comments