Pernyataan tokoh nasional Amien Rais yang menyerukan penggantian teks azan dari hayya alas sholah menjadi hayya ala jihad patut menjadi perhatian bersama. Pertama, karena hal itu diserukan oleh tokoh yang cukup berpengaruh dan memiliki banyak pengikut. Kedua, karena ini berkaitan dengan stabilitas nasional yang berpotensi menimbulkan perang saudara.
Karena itu, semua ini perlu diperjelas duduk perkaranya. Bisakah teks azan ”hayya alas sholah” diganti dengan ”hayya alal jihad?” Pertanyaan ini penting dijawab untuk mengetahui duduk perkara yang sesungguhnya. Yakni, benarkah apa yang diserukan Amien Rais itu merupakan sesuatu yang diajarkan oleh agama? Atau sebaliknya, tidak pernah diajarkan oleh agama dicontohkan oleh Rasulullah Saw.?
Pandangan Ulama Sunni
Persoalan apakah teks azan bisa ditambah, diganti, dan sejenisnya sebenarnya bukan lah hal yang sama sekali baru. Sejak dulu, hal itu sudah menjadi perdebatan dikalangan ulama sunni. Dan, mayoritas berpendapat bahwa lafal azan sudah baku. Karena itu, lafal azan tidak bisa dilakukan pengurangSunn
Menurut Anwar Kurniawan, ulama fiqih bersepakat bahwa lafal azan sudah terbakukan berdasarkan riwayat-riwayat hadits. Pengurangan terhadap lafal azan akan membuat rusak bangunan azan sehingga azan tidak sah. Sedangkan penambahan atas lafal azan seperti seruan jihad “Hayya alal jihād” merupakan bentuk bid’ah atau mengada-ada dalam beragama (Kurniawan, 2020).
Disebut bid’ah karena Rasulullah Saw. sendiri tidak pernah mengajarkan penggantian lafal hayya alas sholah menjadi hayya alal jihad dalam keadaan-keadaan tertentu. Bahkan, Rasulullah sendiri tidak pernah melakukan dan mencontohkannya. Dalam suasana perang sekali pun yang pada saat itu mewarnai masa-masa awal kebangkitan dunia Islam.
Lalu, dari mana ajaran itu berasal? Diketahui, azan jihad itu dicetuskan oleh oposan garis keras Kerajaan Arab Saudi. Salah tokoh penting yang ikut mempopulerkan azan jihad itu Salman Al-Audah. Yang pada 2018 silam, ia didakwa kasus terorisme oleh Pemerintah Arab Saudi.
Pada masanya, Al-Audah dikenal sangat keras mengkritik kebijakan Arab Saudi. Khususnya terkait dengan kebijakan Arab Saudi yang mendukung Amerika Serikat dalam Perang Teluk. Melawan Irak yang menganeksasi Kuwait. Al-Audah menentang keras kebijakan itu dan menentang fatwa Bin Baz yang mendukung penyerangan itu.
Bahkan, sebagai legitimasi akademik, Al-Audah menulis sebuah buku yang berjudul Hayya Alal Jihad. Dalam buku itu, Al-Audah mengkritik pendapat ulama sunni yang mengatakan bahwa jihad fisik telah berakhir dan hanya tersisa jihad akbar. Yakni, melawan hawa nafsu. Al-Audah tidak sepakat dengan pandangan ulama Sunni itu.
Al-Audah memandang bahwa jihad fisik belum berakhir dan hanya tersisa jihad melawan hawa nafsu saja. Itulah sebabnya, ia mendukung dan ikut mempopulerkan penggantian lafal hayya alas sholah dengan hayya alal jihad. Sebab, bagi Al-Audah, jihad fisik belum berakhir. Sebaliknya, justru harus tetap diserukan.
Tidak Relevan
Terlepas bahwa azan jihad itu merupakan bid’ah, secara garis waktu azan jihad itu juga sudah tidak relevan, terlebih dalam konteks Indonesia. Sebab, Indonesia adalah negara damai di mana umat Islam diberi ruang kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya.
Karena itu, dalam konteks Indonesia, seruan jihad fisik sebenarnya sama sekali tidak berlaku. Termasuk yang menggunakan azan sebagai seruan jihad di mana hal itu jelas-jelas bid’ah. Karenanya, wacana azan jihad yang kembali dimunculkan oleh Amien Rais itu sebenarnya tak lebih dari sekadar upaya makar ala kelompok radikal. Menunggangi agama untuk memuluskan kepentingan politik semata.