Dunia tidak pernah terpikirkan untuk menerima musibah besar yang tidak saja mengancam kesehatan, tetapi juga merubah berbagai dimensi kehidupan manusia. Covid-19 sebagai pandemi seolah menjadi masa transisi menuju suatu tatanan dunia baru dengan transformasi bentuk interaksi dan komunikasi. Berbagai kebijakan negara di berbagai dunia mengarah pada tumbuhnya pola gaya hidup baru.
Namun, ada mutiara indah yang terlihat dari hikmah pandemi ini, yakni persoalan toleransi. Pandemi seolah menjadi musuh bersama untuk dilawan secara bersama-sama. Tidak peduli status sosial, etnis, agama, suku dan bangsa semua bisa terdampak virus ini. Tidak ada alasan untuk mengatakan ini adalah penyakit yang dikhususkan untuk etnis tertentu atau hukuman bagi pemeluk agama tertentu. Inilah musibah bersama.
Memang terlihat picik jika ada yang mengatakan bahwa musibah covid-19 ini adalah hukuman bagi kelompok dan penganut tertentu. Sangat provokatif dan cenderung tidak manusiawi ketika ia berlagak congkak mengatakan virus ini adalah hukuman terhadap yang berbeda keyakinan.
Lihatlah sekitar kita berapa banyak manusia yang meninggal karena virus ini tanpa melihat identitas dan batas negara. Jutaan nyawa hilang karena musibah global ini. Ini musuh bersama bukan musuh satu kelompok. Ini bencana bersama bukan hanya bencana bagi penganut agama tertentu.
Menyadari sebagai musuh bersama, semua orang saling bahu membahu menanganinya. Para dokter dan tenaga kesehatan tanpa kenal lelah dan memandang identitas pasien untuk ditangani. Berbagai komunitas dan individu saling berlomba memberikan bantuan tanpa melihat latarbelakang obyek penerimanya. Masyarakat di level bawah memberikan makanan tetangganya tanpa melihat apakah mereka itu seagama, seetnis dan sesuku.
Inilah panorama toleransi yang bisa disyukuri di tengah musibah ini. Tuhan seakan memberikan suatu peringatan bukan untuk satu kelompok, tetapi untuk semuanya agar saling berlomba dalam kebajikan. Mereka yang terkadang merasa individualis, apatis, dan sekterian seakan ditegur untuk berjuang bersama menghadapi ujian ini.
Sudah lama manusia yang diciptakan dengan beragam tetapi dari dzat yang sama ini merasa dirinya unggul di atas yang lain. Bahkan ada yang berlagak melebihi Tuhan dengan menyampaikan narasi kebenaran tunggal. Seolah kebenaran hanya miliknya. Seolah mereka yang akan menentukan siapa yang masuk surga atau tidak.
Pandemi ini menyadarkan bahwa manusia itu makhluk yang kecil di hadapan Tuhan Yang Maha Besar. Namun, Tuhan memuliakan manusia dari makhluk lainnya dengan kecerdasan akal dan iman. Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah untuk mengelola bumi untuk kemashlahatan bersama, bukan untuk kepentingan satu kelompok.
Pandemi ini menyadarkan bahwa manusia adalah dari satu entitas tetapi dibentuk secara beragam. Saling mengenal dan berlomba-lomba dalam kebajikan adalah cara bagaimana manusia mengenali dirinya sebagai makhluk Tuhan. Pandemi ini mengajak kita untuk saling peduli dan berbagi, bukan saling menyakiti dan memprovokasi. Pandemi ini mengajarkan manusia untuk selalu menabur kasih dan sayang.
Apa ukuran kita berhasil menangani pandemi ini? Bukan menghilangkannya! Kita bersama bisa mengatasi ketika kita sudah saling mempunyai toleransi, saling peduli dan berbagi. Itulah keberhasilan sesungguhnya dalam menghadapi pandemi.
Indahnya pemandangan kehidupan ini tanpa pandemi tetapi bisa terus merawat toleransi. Membantu sesama dan saling peduli tidak hanya dilakukan di tengah pandemi. Toleransi harus menjadi bagian dari cara hidup kita selamanya. Itulah cara Tuhan mengingatkan kepada kita untuk tidak selalu menang sendiri, tetapi menangani bersama-sama.