HUT RI ke-79; Melawan Penjajahan Ideologis Berkedok Gerakan Agama

HUT RI ke-79; Melawan Penjajahan Ideologis Berkedok Gerakan Agama

- in Narasi
63
0
HUT RI ke-79; Melawan Penjajahan Ideologis Berkedok Gerakan Agama

Dunia global memasuki babak baru, pasca berakhirnya kolonialisme fisik. Era penjajahan dengan agresi militer kiranya sudah berakhir. Namun, bukan berarti upaya mendominasi satu negara atau bangsa oleh negara atau bangsa lain berakhir. Kontestasi dunia memang tidak akan pernah berakhir. Akan selalu ada kekuatan yang mencoba menaklukkan dunia dibawah kekuasaannya.

Maka, hari ini kita mengenal istilah perang proksi, hegemoni, dominasi, dan istilah lainnya yang sebenarnya merupakan tafsir baru atas imperialisme alias penjajahan. Di era modern seperti sekarang, penjajahan acapkali tidak dilakukan secara terbuka, melainkan secara terselubung, sembunyi-sembunyi, memakai cara halus, sehingga yang dijajah pun tidak sadar sedang terjajah.

Salah satu bentuk imperialisme gaya baru itu adalah penjajahan ideologis yang dilakukan kelompok radikal transnasional. Agenda kelompok ini adalah mendirikan kekuasaan global berdasar sistem politik dan hukum agama (Islam) yang mereka tafsirkan secara serampangan. Agenda ideologis politis itu dijalankan melalui dua strategi, yakni startegi konfrontatif yang permisif pada kekerasan dan strategi kooperatif dengan jalan infiltrasi ideologi. Kelompok ini saat ini diwakili oleh keberadaan ISIS, Al Qaeda, dan sejumlah organisasi teroris lintas negara lainnya.

Dalam konteks Indonesia, penjajahan ideologis berkedok gerakan agama itu mewujud ke dalam sejumlah fenomena. Antara lain, pertama femomama purifikasi ajaran agama (Islam) oleh kelompok konservatif radikal. Purifikasi agama adalah upaya memurnikan ajaran agama dari pengaruh budaya, adat-istiadat, dan kearifan lokal.

Seperti kita lihat, purifikasi agama dalam praktiknya kerap melahirkan adanya benturan antara agama dan lokalitas. Umat beragama diajak untuk membenci lokalitas. Bagi kaum puritan ini, satu-satunya cara berislam secara kaffah adalah dengan meninggalkan budaya Nusantara.

Purifikasi Islam jelas merupakan penjajahan ideologis yang nyata. Masyarakat Indonesia dipaksa mencerabut diri dari akal kulturalnya yakni peradaban Nusantara. Lantas dikondisikan untuk mengadaptasi kultur asing, yang dalam hal ini adalah budaya atau gaya hidup masyarakat Timur Tengah, khususnya Arab Saudi.

Kedua, penjajahan ideologis mewujud pada upaya menggembosi nasionalisme dan patriotisme warga dengan mempropagandakan ideologi daulahisme, khilafahisme, dan sejenisnya. Upaya ini dimulai dengan membangun narasi bahwa nasionalisme dan patriotisme itu tidak ada dalilnya salam Islam. Alquran dan hadist tidak memuat perintah agar umat Islam mencintai negaranya. Narasi itu lantas memuncak dalam klaim bahwa di dalam Islam perintah utama adalah membela agama.

Menggembosi nasionalisme dan mencekoki masyarakat dengan paham daulahisme atau khilafahisme merupakan bentuk konfrontasi ideologi yang serius. Pemaksaan konsep khilafah dan daulah islamiyyah adalah penjajahan ideologis karena bangsa Indonesia sudah sepakat dengan konsep negara bangsa NKRI yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945.

Bagaimana Melawan Penjajahan Ideologis?

Ketiga, penjajahan ideologis juga mewujud pada upaya melabeli Pancasila dan UUD 1945 sebagai produk kafir, sistem kufur, bahkan thaghut. Labelisasi itu tentu bertujuan untuk mendelegitimasi falsafah dan konstitusi bangsa. Melabeli Pancasila dan UUD 1945 sebagai produk kafir atau thaghut itu sama saja dengan menyebut semua orang Indonesia hidup dibawah sistem yang zalim.

Labelisasi negatif terhadap Pancasila dan UUD merupakan serangan non-fisik terhadap eksistensi bangsa dan negara. Merongrong falsafah dan konstitusi negara ini tidak lain merupakan penjajahan gaya baru. Imperialisme yang menyasar loyalitas warganegara agar goyah dan mudah dimobilisasi demi tujuan ideologis kaum radikal.

Peringatan Kemerdekaan Indonesia yang ke -79 tahun ini kiranya mengingatkan kita bahwa imperialisme tidak sepenuhnya berakhir, alih-alih hanya bersalin rupa. Imperialisme di era kontemporer ini lebih mengarah pada perang ideologi yang dibalut dengan kemasan gerakan keagamaan.

Dari luar, seolah-olah itu gerakan keagamaan. Padahal, sejatinya tidak lebih dari penjajahan ideologis untuk mengubah cara pandang dan paradigma berpikir masyarakat agar bersikap anti pada negara dan bangsanya sendiri. Imperialisme ideologis itulah yang harus dilawan bersama.

Caranya adalah dengan membangun kesadaran di kalangan umat bahwa identitas kebangsaan dan keagamaan tidak untuk dibenturkan. Keduanya harus ditempatkan secara sejarah. Otoritas negara hadir tidak untuk melampaui sakralitas agama. Negara dibentuk untuk mengurusi relasi sosial antar masyarakat. Sedangkan agama merupakan sumber moral dan etika sekaligus mengurusi relasi antara manusia dan Tuhan.

Dalam konteks NKRI yang berdasar pada Pancasila, hubungan agama dan negara bersifat mutualistik, bukan konfrontatif. Pancasila dan UUD 1945 menjamin kemereskaan tiap individu dalam beragama. Nasionalisme tidak diartikan bahwa semua warganegara harus melepas identitas kesagamannya. Nasionalisme yang kita anut adalah nasionalisme relijius. Yakni sikap cinta tanah air yang dibarengi dengan komitmen untuk patuh pada ajaran agamanya.

Selain itu, kita harus memperkuat kedaulatan ideologis. Yakni dengan meneguhkan Pancasila sebagai dasar dan falsafah bangsa. Pancasila tidak boleh sekadar menjadi monumen. Pancasila harus hadir dalam seluruh aspek kehidupan bangsa, mulai dari sosial, politik, hukum, ekonomi, budaya, hingga agama.

Facebook Comments