Kurang dari dua minggu, ada paling tidak dua masa penantian yang berakhir dan dirayakan. Pada akhir bulan lalu, umat Kristen merayakan kemenangan dalam kebangkitan Yesus Kristus, sedang pada minggu ini umat Islam merayakan kemenangan dalam Idul Fitri. Begitu erat pengalaman yang dirayakan oleh masyarakat Indonesia pada tahun ini, hingga sebenarnya batas-batas keagamaan melebur tanpa benar-benar kita sadari. Lantas, batas-batas apa saja yang dapat kita lihat dan mungkin kita lupakan dalam kita merayakan hari kemenangan ini?
Artikel ini akan mengambil konsep yang sudah familiar bagi umat Islam, Kristen, dan ajaran agama dan kepercayaan lainnya, yaitu tentang paling sedikit dua hubungan yang mesti tercermin dalam kehidupan beragama. Dalam ajaran Islam hubungan ini diringkas dalam istilah habluminallah dan habluminannas, yaitu hubungan dengan Allah SWT dan hubungan dengan manusia. Demikian pula Yesus mengajarkan bahwa dua perintah yang paling terutama dalam kehidupan adalah mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama.
Hubungan vertikal dan horizontal ini tidak terpisahkan dan saling mewujudkan satu sama lain. Hubungan yang baik dengan Yang Maha Kuasa tidak akan terwujud tanpa kita memiliki hubungan yang baik juga dengan orang-orang di sekitar kita. Demikian juga sebaliknya, hubungan dengan orang-orang di sekitar kita akan terwujud dalam praktik keberagamaan kita.
Namun, sebenarnya ada satu lagi aspek yang sering terlupa dari dua hubungan ini. Dalam Islam tidak hanya habluminallah dan habluminannas, akan tetapi ada juga habluminal’alam, yakni hubungan manusia dengan alamnya. Hubungan ini juga tersimpan dalam perintah Yesus untuk mengasihi sesama, karena “sesama” yang dimaksud oleh Yesus dalam bahasa aslinya sebenarnya juga tidak dibatasi pada manusia saja, melainkan kepada segala yang ada di sekitar kita.
Dengan begitu, sebenarnya ada tiga pola hubungan yang perlu kita ingat dalam hari-hari perayaan kemenangan ini. Sekarang kita akan melihat satu-persatu aspek dari hubungan tersebut.
Pertama, perayaan kemenangan ini adalah perayaan hubungan dengan yang ilahi. Keragaman yang dimiliki masyarakat Indonesia juga semakin menerangkan akan ragamnya cara dan makna yang diambil dari hubungan dengan yang ilahi itu. Umat Islam yang telah berpuasa merayakan kemampuan dirinya untuk menjauhi nafsu dengan berbagai bentuknya itu. Demikian juga, orang Kristen, terutama dalam tradisi Katolik, merayakan kemenangan mereka dalam kebangkitan Kristus. Pengalaman ini kemudian bertemu menjadi sebuah pengalaman bersama umat beragama di Indonesia. Habluminallah, kasih kepada Tuhan merupakan pengalaman di mana manusia yang tidak lagi terjebak pada nafsu-nafsu jahat dan mencapai kebaikan-kebaikan spiritualnya.
Kedua, perayaan kemenangan ini lalu diwujudkan melalui berbagai pengalaman baik yang dibagikan kepada sesamanya. Pengalaman “war takjil” beberapa waktu lalu, pengalaman buka puasa bersama yang dilakukan secara lintas iman, dan pengalaman-pengalaman lain yang memperlihatkan hubungan baik antar umat beragama menunjukkan bagaimana batas-batas identitas keagamaan ditembus oleh kebersamaan yang diikat dalam kasih persaudaraan dan kekeluargaan. Hari raya kemenangan ini merayakan mampunya kita untuk kembali pada fitrah kita untuk mewujudkan hubungan kita dengan Yang Adikuasa itu dalam kasih sayang kepada sesama kita.
Ketiga, melampaui berbagai batasan yang menghalangi hubungan horizontal kita, hari kemenangan ini menunjukkan juga kembalinya fitrah manusia sebagai bagian dari alam. Dalam hal ini, “mudik” itu tidak hanya sekedar kembali kepada keluarga akan tetapi kepada kampung halaman. Kampung halaman itu tidak hanya yang ada di dalam rumah saja akan tetapi juga pada alam di sekitarnya. Idul Fitri merayakan kembalinya kita pada fitrah yang paling suci, di mana kita tidak terlepas dari alam di mana kita diutus dan dilahirkan, sehingga kasih kita tidak lagi terbatas pada manusia saja akan tetap juga terwujud pada alam di mana kita tinggal. Alam adalah sesama kita juga karena kita juga bagian dari alam.
Demikian, dalam menyambut momen Idul Fitri ini, Indonesia kembali berlibur panjang. Selama satu minggu lebih, banyak masyarakat kembali ke kampung halaman untuk bertemu dengan keluarga. Oleh karena beragamnya pengalaman keagamaan masyarakat Indonesia, peristiwa mudik ini tidak hanya dilakukan oleh orang Islam saja: kebiasaan khas Indonesia ini melampaui identitas agama. Tentu tidak jarang kita mendengar kisah bagaimana anggota keluarga dengan berbagai macam agamanya ikut pulang dan ikut berkumpul merasakan kebersamaan dalam keluarga.
Dengan begitu kita mengingat ke mana kita pulang dalam mudik ini. Pertama, kita pulang kembali pada fitrah kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, kita pulang kembali pada fitrah kita sebagai makhluk sosial yang berkeluarga, bersaudara, dan bersahabat. Ketiga, kita pulang kembali juga pada fitrah kita sebagai bagian dari alam, sebagai sesama dari kampung halaman kita. Dengan demikian dalam Idul Fitri ini, habluminallah, habluminannas, dan habluminal’alam dapat mewujud dalam kasih kita pada Tuhan dan kepada sesama kita, manusia dan alam.