Sebuah kontestasi politik, dari setingkat pilkades hingga pilpres, umumnya memang membawa sebentuk penyisihan akal sehat. Fenomena ini sebenarnya tak hanya terjadi di Indonesia belaka. Dalam sejarahnya, Hitler dengan Nazi-nya juga membawa sebentuk penyisihan akal sehat, dimana oleh Arendt diungkapkan bahwa irasionalisme memang lekat dengan otoritarianisme dan totalitarianisme.
Memang terlalu mengada-ada untuk membandingkan sebuah kontestasi politik dengan terbentuknya otoritarianisme dan totalitarianisme. Namun, dalam perspektif ini, orang dapat menjadi paham bahwa demokrasi pun, yang dianggap sebagai lawan dari otoritarianisme dan totalitarianisme, ternyata membawa penyisihan akal sehat atau irasionalitasnya sendiri.
Kurang lebih satu bulan lagi Indonesia akan mengadakan pemilihan presiden, yang secara permukaan, cukup berbeda dengan dua pemilihan presiden sebelumnya, 2014 dan 2019, yang ditandai oleh adanya polarisasi ideologi: Islam politik vs. kebangsaan. Apa yang pernah saya sebut sebagai politik “anjathasatru” atau politik tanpa lawan yang dipraktikkan Jokowi, khususnya pada periode ke-2 kepemimpinannya, seolah meletakkan kutub-kutub politik itu menjadi baur dan tak gampang diidentifikasi. Bukankah gagasan besar “persatuan nasional” di balik komposisi kubu kandidat 02 dan juga lontaran wacana untuk berkongsi dari kubu kandidat 03 dan 01, setelah mengalami berbagai pergolakan yang ada, adalah juga sebentuk langkah politik “anjathasatru” yang pernah dipraktikkan oleh Jokowi?
Memang, menurut sementara kalangan, politik “anjathasatru” semacam itu telah mereduksi prinsip demokrasi dimana check and balance, konon, memerlukan peran oposisi. Namun, siapakah yang berani menjawab bahwa tujuan dari demokrasi akan terwujud atau tak terwujud ketika secara literal demokrasi mesti terwujud sesuai dengan “kitab”-nya? Bukankah konon demokrasi adalah sebuah demokrasi ketika ia tak menutup segala kemungkinan untuk mereinterpretasi, merevisi, dan mengkontekstualisasikannya?
Dari ketiga kandidat presiden yang ada, dengan melihat visi-misi, program-program, dan pendekatan mereka pada calon konstituennya memang tak tampak gelombang-gelombang yang berpotensi membelah masyarakat atau menyebabkan pengutuban ideologi sebagaimana pemilihan-pemilihan sebelumnya. Namun, dari konstruksi imajinasi kepemimpinannya, orang menjadi paham bahwa polarisasi, atau setidaknya penegasan eksklusifitas, memang masih ada.
Bukan hanya eksklusifitas tersebut terkait dengan kepentingan jangka pendek seperti segmentasisasi pemilih. Imajinasi perang Bharatayudha atau perang Badar yang pernah dilontarkan oleh para kandidat jelas adalah sebuah bangunan imajinasi yang memiliki konsekuensi serius. Ketika realitas yang ada adalah tak adanya lagi pengkutuban ideologis dan pembelahan masyarakat sebagai turunannya, konsekuensi dari “moralitas buruk,” yang menyebabkan Pandawa memerangi Kurawa pada perang bengis Bharatayudha, dan kekejian kaum kafir pada kaum beriman pada perang Badar, jelas adalah sebentuk daya bawah sadar yang berpotensi menutup akal sehat. Apakah benar tak ada orang-orang yang berbudi luhur di semua kubu kandidat yang ada? Apakah benar tak ada orang-orang yang beriman, dan bahkan pun Islam, di semua kubu kandidat yang ada?
Sejauh ini, dari berbagai bukti yang murah tersaji di berbagai media sosial, konstruksi imajinasi tentang seorang pemimpin yang mengarah pada “pemimpin yang etis” atau “pemimpin Islam,” tanpa mengukur derajat potensi eksklusifitasnya (sebagai embrio dari radikalitas), memang masih tampak dari berbagai pendekatan politik yang dihidangkan oleh beberapa kubu kandidat. Belum lagi tentang sakralisasi pemimpin dengan melekatkan predikat “sang juru selamat” seperti “Imam Mahdi,” yang konon mahfudz,pada kandidat tertentu.
Demikianlah demokrasi yang juga membawa irasionalitasnya sendiri, yang dalam derajat tertentu, masih menyisakan yang jenaka daripada prahara. Dan, meskipun disuguhkan sebaik, sesuci, atau seburuk apapun, dalam kerangka demokrasi, tetaplah rakyat yang pada akhirnya menjadi penentu.