Konflik dan kekerasan yang terjadi di Palestina tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Kesepakatan gencatan senjata sampai saat ini belum mencapai titik temu. Perundingan pun tampaknya menemui jalan buntu.
Termutakhir, pasukan ternyata Israel membombardir kamp pengisian warga Gaza yang ada di kota Rafah. Konon, kamp pengungsian itu menjadi tempat persembunyian anggota Hamas.
Gelombang solidaritas terhadap Palestina pun kembali mengalir deras. Termasuk dari Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar kedua di dunia. Indonesia barangkali adalah negara yang paling aktif menunjukkan keberpihakan pada Palestina.
Baik pemerintahannya yang secara resmi menggalang dukungan internasional melalui diplomasi. Maupun masyarakatnya yang aktif menyuarakan kemerdekaan Palestina. Namun, belakangan ini kita melihat aksi bela atau solidaritas terhadap Palestina mulai disusupi oleh penumpang gelap. Jika diidentifikasi, penumpang gelap isu Palestina itu dapat diklasifikasikan ke dalam empat golongan.
Pertama, para pengasong ideologi khilafah, yang direpresentasikan oleh para eks-HTI. Mereka ini getol menyuarakan kemerdekaan Palestina, namun dengan embel-embel narasi khilafah. Mereka selalu mengklaim bahwa khilafah adalah solusi atas problem Palestina.
Bahwa jika khilafah tegak, maka penjajahan atas tanah Palestina oleh Israel akan berakhir. Mereka juga mengklaim bahwa penjajahan atas Palestina terjadi karena umat Islam belum hidup dalam satu sistem yakni khilafah Islamiyyah.
Para pengasong khilafah ini aktif menyuarakan kemerdekaan Palestina di dunia nyata maupun maya. Di dunia nyata, mereka gencar menggalang aksi massa di sejumlah kota. Kelompok massa ini bisa dicirikan dari atribut yang mereka kenakan, yakni pakaian serba hitam dan tidak lupa panji atau bendera bertuliskan lafal la ilaha illah. Bendera itu diklaim sebagai Ar Royah atau bendera Rasulullah. Padahal, bendera itu adalah simbol organisasi Hizbut Tahrir.
Kedua, kelompok radikal non-HTI yang mendompleng isu Palestina untuk mengobarkan jihad menyasar simbol-simbol Barat, yang identik sebagai sekutu Israel. Berbeda dengan HT yang spesifik mengusung ideologi khilafah dengan isu Palestina, kelompok radikal ekstrem ini cenderung menjadikan isu Palestina sebagai bahan bakar untuk memprovokasi kebangkitan sel tidur teroris.
Mewujudkan Solidaritas yang Rasional, Bukan Emosional
Kelompok radikal ekstrem ini selalu membangun narasi bahwa umat Islam tidak boleh diam saja melihat kekejeman Israel terhadap Palestina. Umat Islam harus berjihad membalas dendam dengan mengangkat senjata. Narasi ini kerapkali efektif membangkitkan sel tidur teroris. Maka, tidak mengherankan jika peningkatan kekerasan di Palestina selalu diikuti dengan peningkatan aksi teror di sejumlah negara.
Dalam konteks yang lebih spesifik, organisasi radikal ekstrem seperti ISIS kerap memanfaatkan isu Palestina untuk menjustifikasi tindakan teror dan kekerasan yang mereka lakukan. ISIS tidak segan melakukan serangan secara acak di ruang publik dan diklaim sebagai serangan balas dendam terhadap kekejaman Israel.
Ketiga, kelompok konservatif yang menjadikan isu Palestina sebagai ajang atau media adu domba baik sesama muslim maupun sesama anak bangsa. Kelompok ini memang tidak mempropagandakan khilafah, juga tidak melakukan aksi terorisme, namun mereka mengeksploitasi isu Palestina untuk memantik polemik di tengah umat.
Misalnya, mereka gemar menuding umat Islam yang masih memakai produk berafiliasi Israel sebagai pengkhianat, musuh dalam selimut, zionis pesek, yahudi sawo matang, dan label negatif lainnya. Tidak hanya itu mereka juga kerap menuding kalangan non-Islam, terutama Kristen sebagai sekutu Israel yang harus dimusuhi.
Keempat, kelompok anti atau pembenci pemerintah. Kelompok ini selalu menjadikan isu Palestina sebagai alasan untuk mendeskreditkan pemerintahan yang sah. Mereka menuding pemerintah tidak tegas memperjuangkan kemerdekaan Palestina di forum global.
Mereka menuding pemerintah gagal alias tidak mampu membela kedaulatan Palestina. Ujung dari narasi ini adalah upaya mendelegitimasi kinerja pemerintahan yang sah agar kehilangan wibawa di hadapan rakyatnya. Tujuannya adalah agar masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemimpinnya.
Keempat kelompok dengan karakternya masing-masing itulah yang harus kita kenali. Meraka tidak pernah benar-benar memperjuangkan kedaulatan Palestina. Alih-alih hanya menjadikan isu Palestina sebagai bahan bakar untuk mewujudkan agenda pragmatisnya.
Apa yang mereka lakukan tidak ada nilai signifikansinya bagi perjuangan Palestina untuk merdeka. Justru sebaiknya, apa yang mereka lakukan cenderung memperkeruh suasana dan menambah pelik persoalan yang sudah ada.
Khilafahisme bukanlah solusi atas problem Palestina, karena perjuangan Palestina itu dilandasi oleh nasionalisme. Demikian juga, pendekatan kekerasan dan teror tidak akan menyelesaikan, alih-alih menambah parah tragedi kemanusiaan yang sudah terjadi.
Demikian juga, menebar kebencian pada pemerintah serta mengadu domba sesama umat tidak akan mengubah nasib Palestina.
Kita membutuhkan model solidaritas yang rasional, bukan emosional. Solidaritas yang altruis, bukan pragmatis. Solidaritas yang melampaui sekat ideologis, bukan solidaritas yang dilandasi sentimen teologis-politis.