Islam sebagai agama yang komprehensif tidak hanya berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga tentang hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya, termasuk tanah air. Salah satu contoh yang sangat relevan dalam konteks kebangsaan dan kecintaan terhadap tanah air adalah sikap Nabi Muhammad Saw. terhadap Kota Mekkah, tanah kelahirannya. Sebelum berangkat hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad Saw. sempat memandang Kota Mekkah dan dengan penuh rasa haru beliau berkata:
”Ya Makkah, sumpah demi Allah, engkau bumi yang paling aku cintai. Kalau saja aku tidak dizalimi, aku tidak mungkin meninggalkan engkau.” Ucapan ini menjadi saksi betapa besar kecintaan Nabi Muhammad terhadap tanah kelahirannya, meskipun pada saat itu beliau dipaksa keluar dari Mekkah karena adanya tekanan dan penganiayaan dari kaum Quraisy.
Kecintaan Nabi Muhammad Saw. kepada Mekkah tidak bisa dilepaskan dari makna yang lebih dalam mengenai bagaimana Islam memandang hubungan antara agama dan kebangsaan. Ucapan Nabi tersebut merupakan manifestasi dari cinta beliau terhadap tanah air yang juga merupakan bagian dari nilai-nilai yang diajarkan dalam agam Islam itu sendiri.
Dalam pandangan Islam, cinta terhadap tanah air adalah bagian dari iman, dan nasionalisme yang sehat tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai Islam selama nasionalisme tersebut tidak mengarah pada fanatisme sempit atau meniadakan keberagaman serta menghormati hak-hak orang lain. Islam mengajarkan keseimbangan, termasuk dalam mencintai tanah air, di mana cinta terhadap bangsa dan negara seharusnya selalu didasari oleh prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan penghormatan terhadap hak-hak sesama manusia.
Nabi Muhammad Saw. adalah teladan yang sempurna dalam hal bagaimana mengintegrasikan cinta kepada agama dan tanah air. Meskipun beliau sangat mencintai Mekkah, hijrah ke Madinah adalah langkah strategis yang diambil bukan hanya demi keselamatan pribadi, tetapi juga demi kelangsungan dakwah Islam yang lebih luas.
Meskipun Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah, cinta beliau terhadap Mekkah tidak pernah pudar. Setelah delapan tahun tinggal di Madinah, Nabi Muhammad Saw. akhirnya kembali ke Mekkah dalam peristiwa yang dikenal sebagai Fathu Makkah (Penaklukan Mekkah). Namun, penaklukan tersebut bukanlah bentuk balas dendam atas pengusiran yang beliau alami sebelumnya. Sebaliknya, Fathu Makkah menjadi salah satu momen paling bersejarah dalam Islam di mana Nabi Muhammad Saw. menunjukkan sikap pemaaf dan penuh kasih sayang kepada penduduk Mekkah, termasuk kepada mereka yang pernah menzalimi.
Dari perspektif ini, kita dapat melihat bahwa Nabi Muhammad Saw. memberikan teladan yang jelas tentang bagaimana cinta terhadap tanah air harus dibangun di atas prinsip keadilan dan kemanusiaan. Kebangsaan yang beliau tunjukkan bukanlah kebangsaan yang eksklusif, tetapi inklusif, yang mengakui dan menghormati keberagaman masyarakat.
Di Madinah, Nabi Muhammad Saw. mendirikan sebuah masyarakat yang beragam dan pluralistik, di mana orang-orang Muslim, Yahudi, dan suku-suku Arab lainnya yang berbeda agama hidup berdampingan di bawah Piagam Madinah. Piagam ini adalah dokumen politik pertama dalam sejarah yang menekankan pentingnya persatuan, toleransi, dan penghormatan terhadap hak-hak setiap warga, tanpa memandang agama atau suku mereka.
Dengan demikian, kebangsaan dalam perspektif Islam bukanlah sesuatu yang bersifat sempit, tetapi justru harus mencerminkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal. Islam menolak nasionalisme yang mengagung-agungkan satu bangsa di atas bangsa lain, tetapi mendorong umatnya untuk mencintai tanah airnya dengan cara yang bermartabat, adil, dan penuh kasih sayang. Kecintaan Nabi Muhammad Saw. terhadap Mekkah adalah contoh dari bagaimana cinta terhadap tanah air seharusnya dipahami dalam Islam. Cinta ini bukan hanya tentang tanah, tetapi tentang bagaimana membangun masyarakat yang damai dan harmonis.
Di era modern, kecintaan terhadap tanah air sering kali dikaitkan dengan konsep nasionalisme. Namun, penting untuk dipahami bahwa tidak semua bentuk nasionalisme sejalan dengan nilai-nilai Islam. Nasionalisme yang eksklusif, yang meniadakan keberadaan kelompok lain, atau yang digunakan sebagai alasan untuk menindas dan melakukan ketidakadilan, jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang sangat mengedepankan sikap cinta kasih.
Sebaliknya, nasionalisme yang sehat adalah yang mencintai tanah air dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini, Islam dan nasionalisme dapat berjalan seiring, selama nasionalisme tersebut tidak menabrak batas-batas moral yang telah ditetapkan oleh agama.
Konteks kebangsaan dan nasionalisme yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw. juga relevan bagi umat Islam di masa kini. Dalam era globalisasi yang semakin kompleks, di mana identitas nasional sering kali dipertentangkan dengan identitas agama, penting bagi umat Islam untuk memahami bahwa cinta terhadap tanah air dan komitmen terhadap nilai-nilai keislaman bukanlah dua hal yang bertentangan. Justru, Islam mengajarkan bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman, selama kecintaan tersebut tidak menyebabkan kita melupakan kewajiban kita untuk berbuat adil, menghormati hak-hak sesama manusia.
Nasionalisme yang diajarkan oleh Nabi Saw. bukanlah nasionalisme yang sempit dan eksklusif, tetapi nasionalisme yang inklusif, yang menghormati keberagaman dan menempatkan keadilan serta kemanusiaan sebagai prinsip utamanya. Inilah bentuk nasionalisme yang sejalan dengan ajaran Islam dan yang seharusnya menjadi teladan bagi umat Islam dalam mencintai tanah air, sekarang, maupun di masa yang akan datang.