Islam bukan hanya sebuah agama saja, tapi agama yang juga berpolitik. Ungkapan ini menegaskan bahwa menegasikan Islam dari politik suatu kesalahan. Islam sama sekali tidak melarang berpolitik. Hubungan politik dan agama dalam Islam sangat bersifat integral. Al Qur’an mengajarkan prinsip-prinsip politik; keadilan, persaudaraan, musyawarah, toleransi dan kebebasan.
Sekalipun dalam al Qur’an tidak ada ketetapan yang pasti (dalil sharih) tentang bentuk dan nama suatu sistem bernegara atau sistem pemerintahan, namun nilai ideal menentukan arah bernegara menjadi rambu-rambu pentingnya politik dalam Islam dan bagaimana etika berpolitik dalam Islam. Islam hanya melarang melakukan politisasi agama.
Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim sejatinya menampilkan cara berpolitik sesuai standar agama Islam. Namun sayang, sebagian umat Islam di tanah air seringkali menampilkan perilaku politik yang berseberangan dengan ajaran Islam.
Di tahun politik seperti sekarang ini, politisasi agama lumrah terjadi. Biasanya muncul sekelompok orang yang jualan label-label agama untuk kepentingan politik. Seperti jualan sorban dan jubah untuk klaim atas nama umat. Mereka berani menggadaikan agama untuk kepentingan politik. Jika politik membutuhkan fatwa, mereka siap menyediakan. Tentu saja fatwa itu disesuaikan dengan hasrat dan birahi politik.
Lebih dari itu, bahkan rela mengkafir-kafirkan demi memenangkan calon yang diusung dan melemahkan calon yang menjadi lawan. Bahkan tak jarang rumah ibadah seperti masjid dijadikan sarana kampanye meraih dukungan. Demikian pula mimbar-mimbar khutbah dan mimbar pengajian dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Semua embel-embel agama dijadikan satu paket untuk kepentingan politik.
Islam Melarang Menjual Agama untuk Kepentingan Politik
Nabi mengingatkan: “Siapa yang menafsirkan al Qur’an tanpa adanya pengetahuan, maka berarti ia telah mempersiapkan tempatnya di neraka”. (Musnad Ibnu Hanbal, 385: I).
Lebih parah dari menafsirkan al Qur’an tanpa pengetahuan adalah mempolitisasi ayat-ayat al Qur’an maupun hadits. Menjadikan ayat-ayat al Qur’an sebagai legitimasi, apalagi apologi atas keberpihakannya dalam politik. Ini lebih parah dari kesalahan penafsiran tanpa ilmu pengetahuan agama.
Al Qur’an mengatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan”. (QS. an Nisa: 135).
Quraisy Syihab menafsiri “al qisth” (adil) dengan makna “bagian” (wajar dan patut). Keadilan tidak identik dengan persamaan. Dengan demikian keadilan yang dimaksud dalam ayat di atas adalah memberikan bagiannya secara wajar dan patut.
Dalam konteks politik, dikatakan tidak adil apabila pemahaman ayat al Qur’an disetir oleh keberpihakan politik; ayat al Qur’an dipaksakan untuk melegitimasi arah kepentingan memenangkan kontestasi. Teks agama dipaksa mendukung kepentingan politik sehingga terlepas dari pemahamannya yang jernih dan objektif.
Dalam ayat yang lain Allah mengingatkan: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. an Nahl: 90).
Hadits riwayat Imam Ahmad mengatakan: “Tinggalkan apa yang kamu ragukan dan kerjakanlah apa yang kamu tidak ragukan. Sesungguhnya jujur itu menimbulkan ketenangan dan dusta itu menimbulkan kebimbangan”.
Sangat jelas dan tegas, Islam melarang segala praktik ketidakadilan dan ketidakjujuran, termasuk dalam politik. Menjual agama untuk kepentingan politik merupakan ketidakadilan dan bahkan menciderai muruah agama Islam. Suatu tindakan tidak terpuji yang tidak pantas dilakukan oleh seorang yang mendayu diri sebagai muslim.
Untuk itu, larangan keras melakukan praktik jual beli agama dengan politik sudah jelas hukumnya, tidak boleh. Dalam bahasa fikih hukumnya haram, yakni berdosa dan disiksa jika dilakukan, sementara jika ditinggalkan diberi pahala.
Ada doa yang diajarkan Allah kepada umat Islam supaya terhindar dari praktik “busuk” menjual agama untuk kepentingan politik.
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya, Engkau dzat yang Maha Pemberi (karunia)”.
Rasulullah juga mengajarkan doa: “Ya Allah, mohon tampakkan kepada kami, kebenaran itu terlihat benar dan anugerahkan kami untuk mengikutinya; dan mohon tampakkanlah kepada kami, kebatilan itu terlihat batil dan anugerahkan kami untuk menjauhinya”.
‘Ala kulli hal, segala praktik menjual agama, memanfaatkan label-label agama untuk kepentingan politik sudah sangat jelas dilarang keras dalam Islam. Semoga kita semua dijauhkan untuk melakukan intimidasi politik dengan jargon-jargon agama karena akan membelah umat dengan segregasi yang tajam. Sungguh tidak terpuji memainkan simbol Islam untuk ekspresi syahwat politik.