“Muslim ialah seorang yang memberikan keamanan pada orang lain dari keburukan lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan Rasulullah saw. mengajarkan agar setiap orang menjaga keselamatan orang lain dengan tidak membiarkan dirinya terlibat menyakiti orang lain, baik dengan ucapan maupun tindakan. Prinsip dalam hadis ini menjadi dasar menegasikan kekerasasan dalam Islam.
Islam sesungguhnya diturunkan demi kebaikan dan kemaslahatan manusia. Para ulama Islam klasik seperti al-Ghazali merinci kebaikan dan kemaslahatan manusia kedalam lima prinsip dasar. Pertama, menjaga jiwa manusia. Prinsip ini merupakan hak asasi setiap orang. Penghilangan nyawa seseorang dianggap sebagai tindakan kriminal dan upaya menghilangkan kemanusian secara umum. Siapapun yang membantu melestarikan kehidupan kemanusiaan berarti turut mengembangkan kemanusian dan peradabannya (lihat QS. Al-Maidah: 32).
Prinsip kedua, melindungi akal. Penghargaan Islam terhadap akal menunjukkan sesungguhnya agama ini menghargai kreatifitas akal sebagai bagian dari peradaban kemanusiaan. Ketiga, melindungi agama dan keyakinan yang dianut setiap orang. Keempat, melindungi keturunan sebagai generasi peradaban. Kelima, perlindungan terhadap harta benda.
Untuk mencapai tujuan-tujuan itu Alquran mengajarkan kasih sayang sebagai visi universal ajaran Islam (QS. al-Anbiya’: 107). Kata ‘rahmat’ atau kasih sayang yang menjadi prinsip ajaran kemanusian tersebut jelas bertolak belakang dengan gagasan kekerasan. Untuk mempertegas gagasan ini Alquran bahkan menyebut kata ‘rahmat’ sebanyak 114 kali. Itu berarti penyebutan kata ini sama banyaknya dengan jumlah surat dalam Alquran. Hal ini menunjukkan kitab suci ini menjadikan kasih sayang sebagai prioritas ajaran.
Islam menganggap aksi kekerasan dalam menyampaikan gagasan justru akan membuat orang lain lari dari ajaran Islam. Karenanya, Alquran memuji sikap Nabi yang lemah lembut. Sebab seandainya Nabi memaksakan kehendak dan melakukan kekerasan maka orang yang mendengarnya akan lari tunggang-langgang (lihat QS. Ali Imran: 159).
Kekerasan atas nama agama tampaknya justeru menjadi trend. Unsur saling mengkafirkan (takfiri) menjaadi hal baru yang sering terdengar. Pada dasarnya tidak salah jika pengikut suatu agama mengganggap dirinya berkewajiban menyebarluaskan dan memegang teguh ajaran agamanya. Yang perlu diingat adalah dakwah itu seharusnya tidak mengganggu keberadaan pihak lain. Apalagi melakukan tindak kekerasan terhadap pemeluk agama atau orang lain yang dianggap telah melakukan tindakan yang menyalahi aturan agama.
Alquran telah berpesan kepada umat Islam untuk melakukan dakwah dengan damai dan tanpa kekerasan. Dakwah haruslah bersifat persuasif dan tidak memaksakan kehendak. Sebab tindakan memaksa bukan saja tidak diperkenankan, lebih jauh justru akan membuat orang yang didakwahi atau diajak kepada Islam akan semakin menjauh (lihat QS. Ali Imran: 256).
Dalam berdakwah seorang muslim tidaklah boleh menjelekkan agama lain. Hal tersebut selain tidak etis juga akan melahirkan konflik antar umat beragama dan aksi balasan yang serupa. Sementara visi yang diinginkan Allah adalah kedamaian antar umat beragama.
Demikianlah sikap Islam terhadap kekerasan. Islam tidak mentolelir segala aksi yang menimbulkan konflik antar manusia. Sebaliknya, Islam mengajarkan umatnya bersikap santun dan toleran terhadap perbedaan. Ingatlah, ”sebab nila setitik, rusak susu sebelanga”. Sebab itu setiap muslim janganlah merusak kesucian ajaran Islam dengan kekerasan yang dilakukan. Wallahu a’lam bi al-Shawab.