Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa penting bagi umat muslim. Isra’ mi’raj adalah peristiwa yang berunsur teologis dan alogic (tidak masuk akal). Umat Islam hukumnya wajib percaya peristiwa isra’ mi’raj. Orang yang pertama kali mengimanai peristiwa isra’ mi’raj adalah Sahabt Nabi, Abu Bakar. Dari peristiwa itu kemudian Abu Bakar mendapat gelar As-Shiddiq (orang yang bisa dipercaya).
Gelar As-Shiddiq julukan (laqob) yang dipersembahkan Nabi secara langsung kepadanya. Karena Sahabat Abu bakar adalah sosok yang jujur dalam beragama (bukan buta agama). Sebaliknya, Orang-orang Kafir Qurays semenjak kejadian itu mereka berusaha sekuat mungkin untuk mamastikan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj hanya spekulatif belaka dan Nabi Muhammad berbohong.
Isra’ Mi’raj direkam dan diabadikan di dalam Al-Qur’an. Allah mengawali dialognya dalam suarat al-Isrā’ ayat 1 dengan kalimat takjub (ta’ajjub), yaitu kalimat “subhâna”. Ta’jub maksudnya adalah Allah memuji diri-Nya (Maha Suci Allah) Sebagai Dzat yang memberangkatkan hamba-Nya dari masjid Haram ke masjid al-Aqsha (Tafsr Muqatil Bin Sulaiman, 1423 H).
Selanjutnya, Al-Qur’an menggunakan term asrā (أسرى)sebagai kata kerja yang membutuhkan objek. Asrā artinya adalah menjalankan. Kemudian yang mejadi pertanyaan adalah, siapa yang dijalankan (di isra’kan)? jawabannya adalah Nabi Muhammad. Redaksi yang diapakai Al-Qur’an adalah hambanya (بعبده). Jadi bukan ruh dari pada hambanya, melainkan jasad hambanya.
Al-Qur’an menggunakan redaksi ‘Abd sebagai objeknya karena sebagai daya tarik (ta’ajjub). Jika Muhammad hanya mimpi atau ruh saja yang di isra’kan, hal itu tidak membuat menarik. Karena semua orang bisa mimpi dan ruhnya bisa kemana-mana ketika mimpi. Bahkan kenapa hanya satu malam? Apakah Allah tidak mampu jika dengan angka lebih kecil? Tentu Allah mampu. Hanya saja, Allah memperlihatkan kebesaran-Nya pada momen ini pada Nabi Muhammad.
Perkembangan teknologi mungkin bisa menjadi daya tawar terhadap waktu singkat yang dialami dalam perjalanan Nabi. Tapi ada hal yang masih tidak masuk akal lagi, yaitu dalam waktu semalam itu Nabi Muhammad mengetahui secara jelas apa yang terjadi dan yang ada di sekelilingnya waktu perjalanan ke Al-Quds.
Nabi Muhammad mampu bercerita tentang pertemuan dengan beberapa suku dan golongan selama perjalanan itu dengan detail. Bahkan Nabi mampu menjawab pertanyaan orang-orang yang mencoba melemahkannya. Yaitu tentang Masjid Al-Aqsa. Hal itu dapat diretaskan oleh Nabi dengan jawaban yang tepat dan sesuai dengan pengalaman dan pertanyaan yang disampaikan pada Nabi.
Hikmah Peristiwa Isra’ Mi’raj
Hikmah dari setiap peristiwa adalah pembelajaran. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang dialektis. Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah adalah peristiwa besar yang dialami Nabi Muhammad. Isra’ Mi’raj mengandung kisah dengan aroma teologis yang sangat kuat. Lalu, apakah peristiwa ini hanya sebatas sejarah yang diputar berulang-ulang dan wajib mengimaninya sebagai konsekuensi logis?
Bukannya Isra’ Mi’raj juga sebagai tanda penting lahirnya perintah kewajiban shalat sebagai gerakan pembersih jiwa? Dan bukannya kita juga tahu bahwa shalat akan berimplikasi terhadap karakter positif; menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai gerakan perubahan soaial? jadi tidak harus dengan gencatan senjata dan hunusan pedang untuk merubah tatanan sosial.
Oleh karena itu, agar Isra’ Mi’raj tidak hanya membusa sebagai sejarah yang dibaca dan diperingati berulang-ulang, alangkah baiknya kita melakukan refleksi dan mengambil hikmah dari peristiwa besar ini. Penulis aka membagi lima refleksi dari dua aspek, yaitu versi Isra’: perjalanan Nabi dari Masjid al-Hram ke Masjid al-Aqsha dan Mi’raj: perjalanan Nabi ke sidrat al-Muntaha:
–Refleksi Isra’: Pertama, sebagai ujian keimanan. Salah satu orang yang beragama adalah beriman. Karakter iman itu dinamis (up & down) bahkan bisa hilang. Orang yang hilang imannya dianggap kafir. Isra’ Mi’raj menguji andrenalin spiritual yang ada pada setiap orang yang beriman pada waktu itu, bahkan sampai saat ini.
Kedua, kelemahan akal. Tidak hanya terjadi pada teks Al-Qur’an yang terdapat kalimat mutasyabbihat, tapi dalam kisah Nabi Muhammad juga ada. Salah satunya adalah kisah Isra’ Mi’raj ini. Bukan berarti Allah itu jahat dan tidak memberikan penjelasan yang logis? Justru Allah menuntut kita untuk memfungsikan peran akal sehat untuk berfikir.
Pada saat yang sama Allah juga meberikan barometer, bahwa tidak semua kehendak Allah pada umatnya itu rasional. Kebebasan berfikir pada manusia masih dalam ambang batas kelemahannya atas Dzat yang Maha segalanya.
Ketiga, kelemahan jiwa. Isra’ Mi’raj dalam beberapa literatur juga disebut sebagai sebagai perstiwa hari berduka. Sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad kehilangan dua orang tercintanya, yaitu kakeknya, Abdul Muthalib yang selama ini memberikan perlidungan, dan istri tercintanya, yaitu Siti Khadijah.
Kemudian Allah merencankan Isra’ Mi’raj adalah semata-mata untuk menghilangkan duka Nabi Muhammad. Oleh karena itu peristiwa Isra’ Mi’raj juga disebut sebagai hiburan untuk Nabi Muhammad (tashliyyah). Kejadian ini memberikan arti bahwa dalam kondisi titik tertentu, kita akan mengalami kelemahan jiwa, dan segeralah mendekat kepada Allah.
Keempat, usaha dan anugerah. Perjalanan dakwah Nabi Muhammad melewati fase tantangan yang sangat berat. Karena tidak semua orang dapat menerima kebenaran Islam. Terutama adalah keluarga Muhammad sendiri, seperti Abu Lahab sebagai Pamannya sendiri. Justru Allah memiliki rencana lain, adalah mereka para mustad’afin yang berbondong-bondong mendekat dan masuk Islam.
Tuhan selalu lebih tahu yang terbaik buat hamba-Nya. Tidak hanya sekadar yang diinginkan tapi yang dibutuhkan. Meminjam istilah seorang filsuf kenamaan saat ini, Dr. Fahruddin Faiz, menyebutnya, “Allah itu sebaik-baiknya ahli makar dari pada orang-orang yang suka buat makar”; diinspirasi dari ayat: “wa makarû wa makaraLlâhu waLlâhu khoir al-Mâkirîn”. (Ali Imron: 3:54)
Refleksi Mi’roj: Kelima, sebagaiJalan spiritual. Perjalanan Nabi Muhammad selanjutnya dari Masjid Al-Aqsa ke langit ‘Sidratul Muntaha’ untuk menghadap Allah. Sebagai peristiwa yang berdimensi spiritual menunjukkan agar manusia harus mendekat terhadap penciptanya. Puncak peristiwa ini sebagai rahmat bagi Nabi Muhammad bisa menghadap Tuhannya.
Peristiwa perjumpaan antara Nabi Muhammad dengan Tuhannya tidak banyak diilustrasikan. Karena dimensinya bagi orang Islam adalah kecuali mengimaninya dan Allah tidak sama sekali memiliki kesamaan dengan mahluk. Dalam kitab Ad-Dardīr ‘Ala Qisshat Al-Mi’raj dikisahkan; Jibril saja yang ikut dari awal tidak diperkenankan mengikuti langkah Muhammad lebih jauh.
Shalat Sebagai Ilustrasi Perjumpaan Nabi dan Tuhannya
Pertemuan Nabi Muhamad dengan Allah diumpamakan saat dalam shalat, yaitu posisi saat baca’antahiyyat (penghormatan) tiap akhir shalat. Seyogyanya, saat shalat umat muslim dapat berada dalam situasi klimaks dan kenikmatan menghadap Allah yang disembah. Posisi saat shalat adalah kenikmatan bagi seorang hamba sahaya dapat bertemu dengan Tuhannya.
Kemudian terakhir, Nabi Muhammad kembali ke bumi membawa risalah kewajiban shalat adalah rahmat bagi seluruh umatnya. Shalat menjadi senjata spiritual membersihkan hati manusia. Ibadah shalat adalah oleh-oleh Nabi Muhammad bersafari dan berjumpa dengan Sang Kekasih. Tapi perjumpaan itu harus disudahi karena harus menyelesaikan tugas sebagai Rasul.
Kembalinya Nabi Muhammad ke bumi sebagai tanda kasih sayang kepada umatnya. Siapa yang tidak merasa keberatan meinggalkan Sang Kekasih? Puncak karir seseorang tidak boleh menutup mata atas penderitaan rakyatnya. Justru apabila diantara kita memiliki kampuan, kakuasaan dan kedekatan dengan yang Maha Kuasa dan para penguasa, kita harus mendoakan dan memperjuangkan hak mereka untuk sama-sama bahagi; seperti kepedulian Muhammad kepada Umatnya.