Tidak bisa dipungkiri bahwa meskipun ormas berhaluan radikalisme seperti HTI dan FPI telah dibubarkan, namun api semangat mereka dalam menebarkan dakwah intoleran dan paham radikal masih belum padam. Mungkin saja secara lahiriah kedua organisasi terlarang tersebut tidak nampak, tetapi secara ruhiah gerak-gerik dan doktrin pemahamannya masih ada.
Secara ideologi dan dasar negara, organisasi berhaluan radikalisme tentunya sangat berbahaya karena dapat mengikis nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pun demikian secara regulasi legal formal organisasi tersebut berseberangan dengan isi UU No.17 tahun 2013 terkait Ormas. Apalagi, beberapa aktivitasnya selama ini secara nyata meresahkan dan memicu konflik di tengah-tengah masyarakat.
Kemudian, saat ini yang patut kita waspadai adalah jurus ghosting mereka yang secara organisasi sudah hilang, akan tetapi sejatinya mereka hanya jeda saja sembari menyusun rencana yang mungkin dianggap lebih soft dalam melancarkan ambisinya menularkan virus paham Islam radikal dan ideologi transnasional.
Tengok saja, beberapa catatan kelam pasca-ormas tersebut dibubarkan. Paham khilafah misalnya, pada 2020 lalu di tengah kepungan pandemi Covid-19 yang mengganas, mereka justru memperalat Pancasila sebagai alat pencitraan. Bukan malah fokus membantu penanganan wabah Covid-19. Para Khilafahis eks-HTI malah justru sibuk mencitrakan diri sebagai yang paling Pancasilais. Selain itu, kroni Khilafahis juga getol menggoreng isu RUU HIP dan mengklaim sebagai Pancasilais. Mereka memang hobinya mengklaim dan memanfaatkan isu.
Pun kemudian, FPI usai dibubarkan, secara terang-terangan berinisiatif akan membentuk organisasi baru yang serupa tapi tak sama nama. Ini artinya, FPI tak ada bedanya dengan HTI. Meskipun telah dibubarkan mereka akan berupaya menghidupkan doktrin pemahamannya dengan cara apapun. Termasuk dengan membentuk organisasi baru atau alternatif lain orang-orangnya bergabung dengan oraganisasi lainnya yang serupa. Intinya, mereka berambisi menebar doktrin Islam radikalnya dengan cara apapun.
Oleh karena itu, diperlukan sistem yang strategis pelenyapan ormas dan pemahaman berhaluan radikalisme sampai ke akar-akarnya. Sebagaimana telah diungkapkan Muradi (2020) bahwa pembubaran FPI hendaknya bukan sebatas organisasinya saja, melainkan juga dengan menghilangkan karakteristik radikal, seperti karakter membangkang dan tidak mengakui keberadaan pemerintah.
Untuk itu, Kemendagri sebagai pembina ormas daerah perlu melakukan langkah strategis pembinaan sekaligus pengawasan terhadap ormas-ormas daerah. Fenomena ghosting organisasi berhaluan radikalisme patut dideteksi sejak dini. Sepak terjangnya di dunia maya juga patut diwaspadai. Jangan sampai mereka leluasa berkeliaran menularkan virus-virus radikalisme.
Patut diwaspadai juga keberadaan organisasi terselubung lain yang mungkin jauh lebih berbahaya. Pemahaman Wahabisme misalnya saja, selama ini juga tak kalah berbahaya menebarkan pemahaman Islam radikal dengan mengkafirkan dan membid’ah-bid’ah-kan ibadah kelompok lainnya yang tak sepemahaman.
Bahkan mungkin bisa jadi ghosting-nya ormas berhaluan radikal, bergabung ke kelompok seperti Wahabisme. Pasalnya, terdapat beberapa kesamaan dakwah mereka. Belum, di era modern ini mereka getol menyuarakan dakwahnya melalui kanal-kanal digital. Ini tentu sangat berbahaya bagi generasi milenial yang selama ini lekat dengan dunia maya dan medsos. Karenanya, sangatlah wajar jika Ketum PBNU, Kyai Said Aqil menyarankan pemerintah untuk segera menutup akun dan media online Wahabi. Mengingat itu merupakan ancaman berbahaya milenial.
Beberapa kekhawatiran tersebut menegaskan bahwa keputusan pemerintah terkait dengan pembubaran FPI dan HTI telah membungkam wajah organisasi sementara belum tentu untuk yang lainnya. Artinya, organisasi-organisasi lainnya juga patut diwaspadai. Namun yang jelas, sikap tegas pemerintah terkait dengan pembubaran ormas berhaluan radikalisme adalah bentuk komitmennya terhadap visi misi pemerintahan yang telah tertuang dalam butir-butir Nawacita.
Sebagai pemegang otoritas pemerintah sudah sepatutnya melakukan satu kebijakan yang dianggap perlu. Apalagi, keputusan pemerintah membubarkan organisasi seperti HTI dan FPI diamini oleh beberapa pimpinan pemerintah dan DPR, serta beberapa tokoh masyarakat. Karenanya, tidak lantas dikatakan sebagai bentuk otoritarianisme. Ini semata-mata demi kebaikan bangsa dan negara.