Israel-Palestina dan Simpang Jalan Foucault-Deleuze

Israel-Palestina dan Simpang Jalan Foucault-Deleuze

- in Narasi
471
0
Israel-Palestina dan Simpang Jalan Foucault-Deleuze

Michel Foucault memang dikenal sebagai seorang gay. Namun, kekaribannya dengan seorang Deleuze yang sangat terkenal bukanlah sebuah hubungan sesama jenis. Deleuze menyukai dan masih memiliki harapan pada perempuan.

Dalam kancah filsafat Perancis, Deleuze dikenal sebagai seorang alterego dari seorang Foucault yang sepertinya tak gampang berkawan. Bukan karena Foucault, meskipun sesama gay, memiliki hubungan yang tak nyaman dengan Roland Barthes. Bukan pula karena Foucault, meskipun bukan seorang gay, juga tak nyaman dengan Derrida ataupun sang filosof kumpul kebo, Jean-Paul Sartre beserta para muridnya.

Deleuze memang berbeda. Hanya ia satu-satunya pemikir Perancis yang tak pernah menjadi anggota atau sekedar simpatisan partai komunis. Dan hanya Deleuze pula satu-satunya pemikir kontemporer Perancis yang tak terkontiminasi pemikiran Heidegger.

Namun, dalam catatan James Miller (The Passion of Michel Foucault, 1993), kedua karib yang dalam bahasa Deleuze sama-sama memiliki “musical accord” itu bersimpang jalan ketika Foucault ingin meneruskan proyek tentang sejarah seksualitas.

Pada titik itu kedua pemikir itu berselisih soal perbedaan antara “passion”dan “desire.” Perbedaan penekanan filsafat antara passion dan desire itu pada akhirnya juga menyebabkan perbedaan sikap politik luar negeri di antara keduanya. Foucault, dalam konflik Israel-Palestina, memihak Israel. Sementara, Deleuze berdiri di pihak Palestina.

Politik, bagi kedua pemikir kondang itu, tentu saja adalah ekstensi dari apa yang disebut oleh hadratussyaikh mereka, Nietzsche, sebagai “power” yang oleh Deleuze disebut pula sebagai energi. Untuk selanjutnya dapat dilacak bahwa sejarah dan corak kuasa Israel lebih mendekati analisis Foucault tentang kekuasaan. Dan perlawanan Palestina atas Israel lebih mendekati skizoanalisis Deleuzian yang mengagungkan tabiat para pengidap skizofrenia dalam kaitannya dengan hasrat. Bukankah ada senyum dan bahkan tawa dalam perlawanan rakyat Palestina yang seolah tak berguna?

Sangat menarik untuk kemudian mengaitkan pembacaan Foucault atas Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia (1972) yang ditulis Deleuze dan Guattari. Sang protagonis Deleuze itu disimpulkan oleh Foucault dengan tiga karakteristik utama: yatim-piatu, tak berwilayah tetap, dan tak bertuan. Kehidupan sang protagonis Deleuze itu yang kemudian mengilhami Foucault untuk menetapkan corak kehidupan yang disebut sebagai “the aesthetic of existence,” dimana oleh Deleuze sendiri lebih disebut sebagai “the life as a work of art.”

Eksistensi bangsa Palestina jelas, dalam kungkungan subjektivikasi Israel cs., adalah sebentuk kehidupan yang laiknya sebuah karya seni. Ketapel, batu, bocah, perempuan, senyum dan tawa, rudal-rudal yang jelas-jelas kalah bergengsi, tak ubahnya sekedar kuas, cat, kanvas, untuk memuntahkan tarik-ulur antara kebebasan yang relatif dan dominasi yang tak absolut.

Pada titik itu, rakyat Palestina memang sama sekali tak dapat mengelak dari permainan kuasa. Namun, dari terang skizoanalisis Deleuzian, yang ironisnya sebagaimana yang dibaca oleh Foucault yang memihak Israel, kemenangan bangsa Palestina adalah mengetahui bahwa—meskipun tak dapat lepas dari permainan—permainan itu adalah milik mereka yang sudah semestinya mereka mainkan.

Dengan demikian, karena hanya dapat melihat dari jauh, terkadang orang mesti meletakkan konflik antara Israel dan Palestina itu seperti halnya hubungan pembacaan yang gamblang seorang Michel Foucault yang pro-Israel atas pemikiran Deleuze yang berdiri di pihak Palestina.

Facebook Comments