Simpul dari Sumpah Pemuda itu adalah kesadaran kebangsaan. Kebangsaan menjadi tali pengikat perbedaan, baik itu agama, etnis, bahasa, maupun budaya dan tradisi. Sumpah Pemuda bisa mengakomodasi pluralitas bangsa ini yang begitu kompleks.
Setidaknya ada dua fakta yang unik dari Sumpah Pemuda. Pertama, dengan melihat peristiwa Sumpah Pemuda, bagi sebagian pengamat, Indonesia itu unik. Kebiasaan umum adalah ada dulu negara (state) baru ada bangsa (nation), sesuai namanya: nation-state [negara-bangsa].
Akan tetapi, Indonesia justru sebaliknya. secara genealogis, Indonesia sebagai suatu bangsa (nation) lebih dahulu ada sebelum sebagai negara (state).
Kedua, lokomotif perubahan menuju bangsa Indonesia yang bersatu secara bahasa, tanah air, dan tumpah darah justru dimotori oleh para pemuda pada Kongres Pemuda 1928.
Dengan sumpah satu bangsa, satu bahasa, dan satu tumpah darah, para pemuda ini bisa mengikat simpul-simpul perbedaan, menyatukan keragaman, dan menepis ego primordialisme, dalam satu ikatan kebangsaan dan imajinasi kemerdekaan.
Imajinasi Kebangsaan
Imajinasi kebangsaan dan kemerdekaan inilah titik awal bangsa ini dimulai. Kesadaran nasional muncul, perlawanan yang terorganisir lahir, dan semangat kolektivitas tumbuh. Semuanya menuju Indonesia merdeka.
Jika ada satu pertanyaan, pelajaran apa yang bisa diambil dari peristiwa besar itu dalam konteks sekarang? Jawabannya adalah semangat persatuan. Pemersatu dan perekat adalah dua kata kunci yang bisa diambil dari peristiwa Sumpah Pemuda.
Peristiwa bersejarah ini, yang pada awalnya pada terjadi 28 Oktober 1928 silam menjadi momentum bagi seluruh lapisan masyarakat dengan menjadikan bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa yang satu sebagai sebuah semangat besar.
Dengan Sumpah Pemuda, tumbuh persatuan, nasionalisme, dan rasa kebangsaan yang pada akhirnya para pemuda mempunyai semangat untuk terus memperjuangkan Indonesia. Sumpah pemuda sudah berhasil memporak-porandakan politik penjajah ketika itu yang terkenal dengan strategi adu domba.
Melawan Radikalisme
Imajinasi akan satu bangsa, bahasa, dan tanah air yang dimunculkan oleh para pemuda bisa berhasil menumbangkan lawan. Dulu lawan kita bisa dilihat dengan nyata, sekarang lawan kita tidak bisa dilihat. Ia berupa paham, doktrin, dan keyakinan yang justru bisa merusak isi dari Sumpah Pemuda itu.
Jika musuh dulu jelas dan nyata, yakni para penjajah, maka musuh sekarang bersikap terselubung, abstrak, dan terkadang tak bisa dilihat gerak geriknya. Musuh nyata itu adalah radikalisme.
Para pemuda harus menjiwai semangat sumpah pemuda itu dalam menangkal radikalisme. Segala ajakan, kampanye, kegiatan, dan doktrin radikal harus dilawan. Perlawanan ini dilakukan secara bersama-sama. Pemuda bisa memanfaatkan media sosial dan segala instrumen digital lainnya dalam melawan radikalisme.
Upaya penangkalan itu bisa dilakukan dengan kerja-kerja fungsional-aplikatif, berupa dialog antar budaya, agama, dan tradisi. Seringkali adanya intoleransi dan sikap negatif terhadap pihak lain, muncul sebab tidak ada proses saling memahami.
Proses saling memahami lewat camp bersama, olahraga bersama, dan membuat acara dengan lintas budaya dan agama, bisa meminimalisir ekses-ekses negatif itu.
Selain itu, pemahaman keagamaan yang lebih humanis, menghormati kemanusiaan harus menjadi barometer para pemuda dalam memilih dan memilah ustaz rujukan. Pemuda sebagai manusia yang masih energik terkadang justru –sadar atau tidak –terjerumus pada tokoh agama yang provokatif.
Untuk itu, semangat sumpah pemuda, bahwa kebangsaan, keindonesiaan, dan kemanusiaan adalah hal yang prinsipil. Segala usaha yang mau merusak ketiga nilai itu, yakni para kaum radikalis harus dilawan sejak dini.
Tantangan Sekarang
Bila konteks Sumpah Pemuda puluhan tahun yang lalu adalah untuk mempersatukan dan menumbuhkan nasionalisme, maka konteks sekarang era-nya sudah berubah, yakni era media sosial.
Tentu timbul pertanyaan, semangat apa yang bisa diambil dari peristiwa Sumpah Pemuda dalam konteks media sosial sekarang?
Pertanyaan ini penting dijawab karena tanpa ada signifikasi dari sebuah peristiwa sejarah, maka peristiwa itu seolah-olah tidak mempunyai daya pengaruh lagi.
Poin yang bisa dijadikan sebagai pegangan dalam bermedia sosial yang diambil dari Sumpah Pemuda adalah pemersatu dan perekat di antara pengguna medsos.
Maksud pemersatu bahwa dalam bermedia sosial, setiap kita harus sadar betul, bahwa dunia maya sama seperti dengan dunia nyata.
Jika dalam dunia maya ada perpecahan, ujaran kebencian, hoax, dan adu domba, maka secara otomatis ia akan berdampak –sadar atau tidak –kepada dunia nyata, yang pada akhirnya akan merusak hubungan antara sesama masyarakat.
Untuk itu, dalam konteks ini, setiap pengguna medsos harus sadar bahwa perpecahan dan adu domba yang ada di medsos itu sama dengan menyalahi dan menabrak nilai-nilai yang ditanamkan oleh para leluhur kita delapan dekade silam.
Penelitian terakhir menunjukkan, bahwa salah satu sebab mengapa banyak terjadi hoax dan adu domba di media sosial tidak lepas dari adanya Pelintiran.
Pelintiran ini bisa berwujud membesar-besarkan, mendramatisir, mengekspos berlebihan, mengeksploitasi sesuatu, dan menafsirkan sesuai kepentingannya, yang sejatinya bukan seperti itu.
Tentu, apabila pengguna medsos menghayati semangat Sumpah pemuda sebagai pemersatu, hal-hal seperti itu tidak akan terjadi.
Hal selanjutnya setelah semangat pemersatu tertanam dalam kesadaran penggunaan medsos adalah semangat perekat. Semangat perekat ini diaplikasikan sebagai wujud nyata, bahwa manusia-manusia yang ada di medsos itu adalah berbangsa, berbahasa, dan bertanah air yang sama dengan kita.
Seringkali timbul hal-hal negatif dalam bermedsos tidak lepas karena kita menempatkan manusia-manusia itu sebagai orang asing, yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dunia kita.
Pemahaman seperti dengan sendirinya akan membawa perasaan tidak bersalah ketika kita mem-bully, membuat berita palsu, menyebar ujaran kebencian, dengan alasan mereka bukan bagian dariku.
Sumpah Pemuda mengajarkan kita adalah sama; sama-sama bertanah air, sebangsa dan satu negara. Kita adalah bersaudara.