Demokrasi sebagai konsep yang ideal dalam menjalankan tugas dan fungsi negara menuai polemik yang tak berkesudahan. Perbincangan demokrasi sejak lama terjadi dari masa ke masa. Bahkan pada era kemerdekaan kritik adalah sumbangan demokrasi terpenting.
Hatta dalam bukunya Demokrasi Kita 1960 menulis bahwa demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya. Memang tak mudah membangun demokrasi di Indonesia, yang lancar jalannya.Tetapi bahwa dia akan muncul kembali, itu tidak dapat dibantah.
Kritik pedas yang dilontarkan Hatta bukanlah nyinyiran belaka. Tulisan itu juga bukan pula sinisme tanpa sebab. Itu adalah bagian kepedulian Hatta terhadap demokrasi yang ada di Indonesia. Demokrasi terpimpin ala Soekarno yang berjalan tercompang-camping dalam praktiknya.
Siapa yang tidak tahu Hatta. Ia adalah salah seorang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia (RI), lalu kemudian menjabat sebagai wakil presiden RI mendampingi Soekarno. Setelah mengundurkan diri dari tahtanya, 1960 Hatta terus memberikan kritik guna mendewasakan demokrasi yang ada di Indonesia.
Baginya, demokrasi tidak akan lenyap dari negeri ini, tersingkir sementara iya, tapi dia akan muncul lagi, tegasnya. Dalam konteks itu, Hatta memberikan kritikannya terhadapa kinerja Soekarno. Kinerja yang banyak melenceng dari semangat kemerekaan, atau bahkan semangat dari cita-citanya Soekarno, sebagai bapak bangsa.
Demokrasi yang masih berumur jagung dulunya sudah mulai diperdebatkan oleh para pendiri. Dialog yang terus berlangsung seputar demokrasi sedari dini usia kemerdekaan sudah dipikirkan dan dijalankan. Meskipun dengan terseok-seok.
Belajar dari sejarah, demokrasi adalah sistem yang hendak mendewasakan bangsa. Bagaimana bangsa ini bisa maju dan merdeka dengan sistem demokrasinya itu. Indeks demokrasi pun bisa dinilai dari seberapa egaliteriannya seorang pemimpin hingga seberapa konsistennya pemimpin mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI.
Hatta sebagai proklamator dan wakil presiden era Soekarno juga tak pernah bosan mengkritik dan memberikan masukan seputar demokrasi. Demokrasi itu seperti tujuan panjang yang ingin dicapai. Tujuan itu meliputi keadilan, kesejahteraan, keamanan, dan lainnya.
Jika mengaca dari perselisihan antara Soekarno dan Hatta bukanlah perselisihan yang tidak berfaedah. Perselisihan keduannya berkutat pada perbedaan ide dalam pembangunan bangsa. Bagaimana bangsa yang baik dalam demokrasi.
Kritiknya membangun paradigma masyarakat dan membuka cakrawala baru tentang demokrasi. Memang tidak mudah, demokrasi adalah cita-cita yang dikehendaki banyak orang. Bahkan banyak yang beranggapan bahwa solidaritas adalah langkah dalam merawat demokrasi.
Meskipun demikian, demokrasi menjadi sistem edukasi, politis, dan sosial. Wajah demokrasi Indonesia terus ditantang.
Selain perdebatan dengan Soekarno, Hatta juga kerap bersitegang dengan teman dan sanak familinya. Perdebatan Soekarno dan Hatta adalah perdebatan reflektif bagaimana Indonesia dan lainnya di tengah media penyiaran dan publikasi ditutup.
Bagi Hatta, Demokrasi Kita adalah sehimpun masukan atau kritik yang dilontarkan ke Soekarno dalam menjalankan tugas sebagai presiden. Kritik ataupun masukan adalah sumber dari demokrasi secara fundamental. Kritik bukanlah cemoohan atau olok-olok yang kontra-produktif.
Hatta adalah kritikus tangguh. Selain melontarkan kritik kepada Soekarno, Ia juga mengkritik gagasan marxisme yang dikemukakan seorang tokoh Tionghoa kala itu, dengan nama samaran Soemarmah. Hatta menilai marxisme tidak bisa dipandang kaku, maka Hatta menawarkan gagasan sosialisme itu. Perdebatan ini bisa dibaca lengkap di Kepintaran Murid Marx Membeo.
Kritik Hatta kepada Soekarno kala itu dimuat di Pandji Masyarakat dan kepada Soemarmah dimuat di Sin Tit Po. Keduanya adalah surat kabar dengan genre berbeda, satunya berhaluan islami dan satunya tionghoa. Begitulah Hatta bergaul, tidak pilih-pilih.
Sebagai guru bangsa, Hatta menilai kritik adalah sesuatu yang membangun demokrasi. Kritik tidak hanya diucapkan. Kritik juga bisa dituliskan. Kritik tulisan juga dibalas dengan tulisan. Atas kelakuan seperti itulah, Hatta pernah dipenjarakan. Dan baginya, Ia rela dipenjara asalkan bersama buku.
Jalan demokrasi dan budaya kritik sudah berlangsung lama. Akan tetapi, kali ini kita dihadapkan pada demokrasi dan teknologi. Percumbuan keduanya menuai polemik demokrasi, hingga merosotnya kembali budaya demokrasi. Karena apa, karena kritik yang dilakukan bernada sinisme yang tanpa sebab dan lebih pada provokasi.
Provokasi dengan sinisme dan kebencian yang tak terbendung itu yang mengakibatkan perceraian. Kebencian kepada agama, ras, dan golongan, atau bahkan pemerintah ini tidak pernah dibenarkna. Provokasi mudah menyulut api dan berdampak pada permusuhan.
Demokrasi yang sehat adalah demokrasi dengan budaya kritik yang tinggi dan perilaku provokatif yang rendah. Kritik lebih bisa dipahami masyarakat sebagai bentuk sarana menyumbangkan ide dan pengetahuan guna perbaikan-perbaikan demokrasi. Sedangkan provokasi hanyalah sulutan emosi yang membuat demokrasi menjadi cacat.