Jebakan Beragama di Era Simulakra

Jebakan Beragama di Era Simulakra

- in Narasi
4
0

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya, misalnya, langsung disambut dengan sirene bahaya. Reaksi seperti tuduhan sinkretisme dan pencampuradukan agama meramaikan ruang maya.

Seolah-olah, sekadar hadir untuk menghormati kebahagiaan rekan kerja yang berbeda iman akan serta-merta melunturkan teologi yang telah dianut seumur hidup. Mengapa kita menjadi bangsa yang begitu cemas?

Jangan-jangan, kita sedang tidak mempertahankan esensi agama, melainkan mempertahankan “simulasi” dari agama. Ketakutan akan pluralitas yang kita rasakan hari ini adalah sebuah produk hiperrealitas, sebuah ketakutan palsu yang terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.

Agama yang Kehilangan Rasa

Dalam konsep simulakra, Jean Baudrillard menjelaskan bagaimana masyarakat modern perlahan menggantikan realitas dengan tanda atau simbol. Peta dianggap lebih penting daripada wilayah aslinya. Foto makanan di Instagram lebih penting daripada rasa makanan itu sendiri.

Fenomena ini telah menjangkiti cara kita beragama. Banyak dari kita yang tanpa sadar telah bergeser dari pengalaman batin spiritual menjadi sekadar pengalaman simbolik.

Di sinilah letak masalahnya. Agama bisa saja direduksi menjadi sekadar identitas simbolik. Tapi identitas itu sangat rapuh. Identitas simbolik membutuhkan musuh untuk tetap tegak. Identitas memerlukan kambing hitam untuk meneguhkan eksistensinya.

Pluralitas dianggap ancaman bukan karena ia membahayakan Tuhan, Tuhan Maha Besar tidak butuh pembelaan remeh-temeh manusia, tetapi karena keberagaman mengaburkan garis batas visual yang menjadi sandaran identitas rapuh tersebut.

Inilah yang disebut sebagai hiperrealitas. Di media sosial, narasi bahwa akidah sedang didangkalkan, atau kristenisasi terselubung diproduksi secara masif sehingga menciptakan citra. Algoritma menyukainya karena memancing emosi. Kita pun merespons citra-citra ketakutan itu seolah-olah itu adalah fakta di lapangan.

Padahal, jika kita menengok ke dunia nyata, ke realitas muamalah sehari-hari, apakah iman kita serapuh itu? Apakah akidah seorang Muslim akan luntur hanya karena mendengar lagu Jingle Bells atau melihat pohon cemara berhias lampu di lobi kantor?

Jika jawabannya ya, maka kita perlu mengevaluasi ulang kualitas iman kita. Jangan-jangan, selama ini kita tidak menyembah Tuhan Yang Maha Pengasih, melainkan menyembah ego kita sendiri yang ketakutan kehilangan panggung dominasi. Kita sibuk berperang melawan citra hiperrealitas yang dibentuk oleh akun radikal teroris, sementara melupakan esensi agama sebagai jalan cinta dan rahmat.

Menjawab Kecemasan

Langkah Kemenag, atau instansi manapun yang memfasilitasi perayaan hari besar warganya, bukanlah upaya mencampuradukkan ritual penyembahan (sinkretisme). Itu adalah wujud kehadiran negara untuk menghormati manusia lainnya.

Analogi sederhananya begini, jika Anda memiliki tetangga yang sedang mengadakan pesta pernikahan, dan Anda datang memberikan selamat serta turut berbahagia, apakah itu berarti Anda otomatis menikahi pengantinnya? Tentu tidak. Anda hadir sebagai tetangga yang baik, bukan sebagai mempelai.

Ketidakmampuan membedakan antara menghormati perayaan dengan mengimani ajaran adalah bukti bahwa kita sedang mengalami krisis nalar. Kita lebih percaya pada simulakra bahwa kita akan murtad, daripada percaya pada realitas akal sehat kita sendiri.

Walakhir, fenomena ini adalah cermin bagi kualitas keberagamaan kita sendiri. Jika kita masih gemetar melihat orang lain berbahagia dalam imannya, maka yang rapuh bukanlah akidah kita, melainkan ego kita.

Mari kita kenali gejala simulakra ini. Jangan sampai kita sibuk membela kemasan agama mati-matian, tetapi justru membunuh isi agama itu sendiri, yaitu kemanusiaan dan kasih sayang. Tuhan yang Maha Besar terlalu agung untuk dikerdilkan oleh rasa curiga yang kita ciptakan sendiri.

Facebook Comments