Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah sebuah konsep baru. Jauh sebelum istilah “pre-emptive strike” atau “preventive action” populer dalam diskursus keamanan modern, peradaban Islam telah meletakkan dasar filosofis dan yuridis yang kokoh untuk tindakan pencegahan, yakni melalui prinsip saddu al-dari’ah.
Secara etimologis, frasa Arab saddu al-dari’ah (سد الذريعة) tersusun dari dua kata: sadd (سدّ) yang bermakna menutup, menghalangi, atau membendung, dan al-dari’ah (الذريعة) yang berarti jalan, sarana, perantara, atau wasilah yang dapat mengantarkan pada sesuatu. Dalam terminologi Ushul Fiqih (prinsip-prinsip yurisprudensi Islam), saddu al-dari’ah didefinisikan sebagai “mencegah segala sesuatu (perkataan maupun perbuatan) yang menyampaikan pada sesuatu yang dicegah/dilarang yang mengandung kerusakan atau bahaya”.
Ia adalah sebuah metodologi hukum yang berorientasi pada konsekuensi, di mana suatu tindakan yang pada dasarnya mungkin diperbolehkan (mubah) menjadi dilarang jika berpotensi besar membuka pintu (dari’ah) menuju kemafsadatan (mafsadah atau bahaya). Konsep ini, jauh melampaui sekadar terminologi hukum, adalah sebuah falsafah peradaban yang mendesak untuk direvitalisasi di tengah kerapuhan tatanan global dan tantangan internal bangsa.
Landasan filosofisnya inheren bersifat preventif: ia tidak menunggu bahaya itu terwujud, melainkan proaktif memitigasi akar penyebab dan jalur-jalur potensialnya. Salah satu contoh klasik yang sering dikutip para ulama terkait penerapan saddu al-dari’ah adalah larangan mencaci-maki sesembahan agama lain, bukan karena mencaci itu sendiri adalah puncak keburukan, tetapi karena tindakan tersebut dapat menjadi dari’ah bagi pemeluk agama lain untuk membalas mencaci Allah SWT, sebuah kemudaratan yang jauh lebih besar. Ini adalah kearifan preventif yang luar biasa, menjaga harmoni sosial dengan menutup celah provokasi.
Contoh historis lain adalah ketika Khalifah Umar ibn al-Khattab ra. menunda pembagian tanah taklukan (sawafi) kepada pasukan muslim dengan alasan mencegah konsentrasi kekayaan pada segelintir orang dan memastikan keberlangsungan pemasukan bagi negara untuk generasi mendatang. Ini adalah bentuk Saddu al-Dari’ah terhadap potensi ketidakadilan sosial dan pelemahan negara jangka panjang. Bahkan, larangan menjual anggur kepada pihak yang diketahui akan memprosesnya menjadi minuman keras, atau menjual senjata di masa fitnah (kekacauan sipil), adalah aplikasi nyata dari prinsip ini.
Dalam konteks sejarah dunia, kita melihat bagaimana kegagalan menerapkan prinsip preventif seringkali berujung pada tragedi. Perang Dunia Pertama, misalnya, dipicu oleh serangkaian eskalasi yang sebenarnya bisa diredam jika “jalan-jalan” menuju konflik besar ditutup lebih awal.
Kini, di era modern yang diwarnai ancaman terorisme global, prinsip saddu al-dari’ah menemukan relevansinya yang semakin krusial. Narasi “nihil serangan” di Indonesia selama dua tahun terakhir, meski patut disyukuri, tidak boleh menjadi dari’ah menuju kelengahan. Jika rasa aman ini menyebabkan berkurangnya kewaspadaan atau kegagalan beradaptasi dengan ancaman yang bermetamorfosis, maka “nihil serangan” itu sendiri ironisnya telah menjadi “jalan” menuju potensi bahaya di masa depan.
Penerapan saddu al-dari’ah dalam kontra-terorisme kontemporer mencakup spektrum yang luas. Pertama, di ranah digital, upaya memblokir konten ekstremis dan meningkatkan literasi digital masyarakat adalah bentuk nyata sadd (penutupan) terhadap dari’ah (jalan) radikalisasi daring, sebagaimana kasus pemuda berinisial MAS di Gowa menjadi pengingat pahitnya.
Kedua, program intervensi dini yang mengidentifikasi dan membimbing individu yang menunjukkan tanda-tanda awal radikalisasi adalah upaya “menutup jalan” sebelum mereka terjerumus lebih jauh.
Ketiga, program deradikalisasi dan reintegrasi yang komprehensif bagi mantan narapidana terorisme dan FTF (Foreign Terrorist Fighters) yang direpatriasi adalah vital untuk mencegah residivisme, menutup pintu bagi mereka untuk kembali ke jalan kekerasan. Keempat, pengendalian akses terhadap senjata dan bahan peledak, seperti penyitaan senjata api dari anggota JI, adalah aplikasi langsung dari prinsip ini.
Bahkan, lebih jauh lagi, penanganan akar masalah sosial-ekonomi dan ketidakadilan yang kerap dieksploitasi kelompok teroris untuk merekrut anggota juga dapat dilihat sebagai implementasi saddu al-dari’ah dalam skala makro. Dengan menutup “pintu” kerentanan sosial, kita mempersempit ruang gerak ideologi ekstrem.
Dengan demikian, saddu al-dari’ah bukanlah sekadar konsep teoretis usang, melainkan sebuah kerangka kerja strategis yang dinamis dan adaptif. Ia mengubah paradigma kontra-terorisme dari sekadar respons reaktif menjadi sebuah doktrin keamanan nasional yang proaktif dan preventif. Dalam menghadapi ancaman teror yang terus berevolusi, hikmah dari jejak langkah preventif para pendahulu, yang terangkum dalam kearifan saddu al-dari’ah, tetap menjadi kompas yang tak ternilai harganya untuk menjaga kewaspadaan dan melindungi masa depan peradaban.