Waspada Jerat “Divide et Impera” atas Nama Agama

Waspada Jerat “Divide et Impera” atas Nama Agama

- in Narasi
2
0
Estafet Moderasi Beragama; Dilema Mendidik Generasi Alpha di Tengah Disrupsi dan Turbulensi Global

Dalam panggung politik global, sejarah mencatat bahwa agama adalah instrumen yang memiliki dua sisi mata uang: paling efektif untuk menggerakkan massa menuju kemaslahatan, namun sekaligus senjata paling berbahaya ketika dimanfaatkan untuk memecah belah. Di Indonesia, memori kelam politik pecah belah bukanlah konsep asing. Strategi ini dulu diterapkan oleh kolonialisme Belanda, yang secara sistematis mengeksploitasi identitas etnis dan agama demi melanggengkan kekuasaan. Kini, di era demokrasi modern, taktik serupa bangkit kembali dalam wujud yang lebih halus: politik adu domba yang dibungkus dengan selubung moralitas dan narasi keagamaan.

Mengapa agama begitu rentan dipolitisasi? Manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan kuat untuk mencari identitas kolektif sebagai sumber rasa aman. Agama, sebagai sistem makna yang paling fundamental dalam membentuk kesadaran sosial, menjadi ruang paling mudah untuk dieksploitasi. Sosiolog Clifford Geertz, dalam studinya tentang agama di Jawa, pernah menekankan bahwa agama bukan sekadar tumpukan keyakinan spiritual, melainkan simbol sosial yang berfungsi untuk menandai “kita” dan “mereka.” Begitu simbol suci ini diintervensi oleh kepentingan politik, agama seketika bertransformasi menjadi garis batas yang membelah masyarakat, alih-alih menjadi ruang spiritual yang membangun etika sosial. Politik kemudian berhasil menciptakan narasi biner: seolah hanya ada kelompok yang membela agama dan kelompok yang dituduh sebagai musuh agama. Di titik ini, nalar kritis dan ruang dialog terpaksa tunduk pada narasi polarisasi.

Ironisnya, baik hukum agama maupun hukum positif sejati-nya sama-sama menolak keras praktik manipulatif semacam ini. Dalam kaidah fikih, dikenal prinsip sadd adz-dzari’ah; menutup setiap jalan yang berpotensi mengarah pada kerusakan sosial. Ini berarti, menjadikan agama sebagai alat adu domba adalah bentuk pelanggaran terhadap maqashid syariah (tujuan utama hukum Islam), khususnya dalam hal menjaga persatuan.

Secara legal di Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara tegas melarang penggunaan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) untuk kepentingan politik elektoral. Namun, realitasnya, pasal-pasal hukum sering kali tidak cukup kuat menahan derasnya gelombang propaganda yang memanfaatkan sentimen keagamaan sebagai mesin mobilisasi dukungan.

Islam justru mengajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus diwujudkan dengan keadilan. Filsuf Al-Farabi menggambarkan al-madinah al-fadhilah sebagai tatanan politik yang mengarahkan warganya menuju kebajikan kolektif, bukan memecah belah umat menjadi kelompok yang saling mencurigai. Politik adu domba berkedok agama justru merupakan antitesis dari cita-cita luhur ini.

Dari Scapegoating menuju Rage Farming

Strategi pecah belah ini bekerja efektif melalui mekanisme psikologis yang dikenal sebagai political scapegoating: menciptakan musuh bersama yang disalahkan atas segala masalah, sehingga massa mudah diarahkan. Sering kali, “musuh” ini tidaklah nyata, melainkan dibentuk dan diulang melalui narasi berulang yang mengubah prasangka menjadi “kebenaran politik.” Pemilih kemudian digiring untuk memilih bukan berdasarkan program, rekam jejak, atau integritas calon, melainkan berdasarkan ketakutan, takut dianggap tidak membela agama atau takut kehilangan identitas.

Dalam konteks Islam, loyalitas politik tidak boleh menggantikan nilai kebenaran moral. Imam Al-Ghazali bahkan pernah memperingatkan bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh ulama dan pemimpin yang mempolitisasi agama jauh lebih mematikan ketimbang kerusakan yang dilakukan oleh orang awam, sebab mereka menggunakan otoritas suci untuk melegitimasi ambisi kekuasaan yang profan.

Hari ini, di tengah derasnya arus informasi, propaganda politik keagamaan tidak lagi hanya bekerja melalui mimbar formal, tetapi melalui narasi digital yang dirancang khusus untuk memicu kemarahan kolektif, fenomena yang disebut rage farming atau strategi memanen amarah demi keuntungan elektoral.

Bagi masyarakat multikultural seperti Indonesia, kerukunan bukanlah kondisi yang datang begitu saja, melainkan sebuah proses berkelanjutan yang harus dijaga melalui politik etis. Ini berarti politik yang didasarkan pada kesadaran kebangsaan, penegakan hukum yang adil, dan kesediaan untuk mengakui keberagaman sebagai kekuatan, bukan ancaman.

Maka, dua hal wajib diwaspadai: pertama, politisi yang menjadikan agama hanya sebagai kosmetik moral untuk menutupi ambisi pragmatis; kedua, sebagian umat yang mudah digerakkan oleh sentimen tanpa memiliki literasi politik dan keagamaan yang memadai.

Membangun kewaspadaan politik bukanlah berarti menjauh dari agama. Sebaliknya, hal itu menuntut kita untuk memahami agama secara lebih matang. Agama harus menjadi dasar etis untuk menilai perilaku politik. Jika politik yang mengatasnamakan agama justru menebar perpecahan, maka ia telah keluar dari rel maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum) syariah dan tujuan konstitusi negara. Agama yang sejati tidak menuntun manusia untuk membenci sesamanya demi kemenangan sesaat, tetapi mengajak untuk menegakkan keadilan dan persatuan. Di titik inilah politik menemukan martabatnya, sebagai ruang untuk merawat kemanusiaan bersama.

Facebook Comments