Jika Anak Bertanya, Bolehkah Berteman dengan Non-Muslim?

Jika Anak Bertanya, Bolehkah Berteman dengan Non-Muslim?

- in Keagamaan
472
0
Jika Anak Bertanya, Bolehkah Berteman dengan Non-Muslim?

Pertanyaan mengenai pertemanan dengan individu dari latar belakang agama yang berbeda mungkin jarang terdengar dari mulut anak-anak yang sedang tumbuh, namun bukan berarti tidak ada. Saat anak bertanya, “Bolehkah berteman dengan non-Muslim?” orang tua akan dihadapkan dengan banyak pertimbangan, termasuk nilai-nilai agama, nilai-nilai kemanusiaan, dan perkembangan kognitif dan sosial anak.

Pertanyaan ini sebetulnya tidak hanya relevan bagi anak-anak Muslim, tetapi juga bagi anak-anak dari berbagai latar belakang agama. Namun jika pertanyaan itu terlontar, para orang tua juga mesti mengamati lingkungan seperti apa yang mendasari pertanyaan ini muncul dari mulut si kecil.

Bila lingkungan anak sudah beragam dan menghormati keberagaman, pertanyaan ini seharusnya tidak muncul. Semua manusia pada awalnya belajar tentang sikap dan perilaku yang diterima melalui lingkungan sosial pertamanya. Bila lingkungan anak sudah terbiasa dengan keragaman dan menghormati perbedaan, tentu anak akan menganggap wajar saja berteman dengan mereka yang berbeda.

Mungkin, anak yang bertanya demikian hidup dalam lingkungan yang homogen, misalnya ketika di lingkungan sekolah. Dalam konteks ini, orang tua perlu mencarikan pengalaman keberagaman bagi sang anak. Fondasi yang kokoh berupa pengalaman positif menghadapi keberagaman di usia dini akan sangat membantu anak menjadi orang dewasa yang tidak gagap menghadapi perbedaan kelak.

Ketika anak-anak dihadapkan pada realitas keyakinan yang beragam namun tidak dikelola dengan semestinya dari pihak orang tua, maka dikhawatirkan sang anak akan salah bertindak terhadap lingkungan di sekitarnya. Lagipula, anak juga rentan mendapatkan informasi-informasi dari media sosial yang dikonsumsi. Penyerapan informasi yang kurang tepat tanpa adanya filter dan penjelasan mengakibatkan kerentanan terhadap pembentukan sikap dan perilaku yang kurang bijak. Terlebih ketika mengingat salah satu karakteristik anak adalah mudah mengingat dan cenderung menganggap apapun yang masuk ke otaknya pertama kali sebagai bekal dan pedoman bertindak.

Menurut Ernest Harms (1944) dalam artikel jurnal yang berjudulThe Development of Religious Experience in Children, ada tiga tahapan dalam perkembangan pengalaman beragama pada anak. Pertama,the fairy-tale stage. Tahapan ini dimulai ketika anak berusia 3 tahun dan berakhir ketika anak berusia 6 tahun. Pada tahapan ini, konsep mengenai Tuhan dan agama lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi anak, sehingga anak membayangkan Tuhan dan agama layaknya dunia fisik. Kedua,the realistic stage. Tahapan ini dimulai ketika anak berkisar usia 7 tahun sampai usia remaja. Pada tahapanrealistic, seorang anak sudah mengkonsepsikan Tuhan dan agama berdasarkan kenyataan akibat dari bimbingan orang di sekitarnya (misalkan orang tua dan keluarga) dan juga pengaruh lembaga-lembaga keagamaan. Ketiga,the individual stage. Pada tahapan ini, seorang anak memiliki kepekaan emosi yang paling optimal dibandingkan masa sebelumnya dan sesuai dengan perkembangan usia kronologisnya.

Biasanya, anak akan mulai terjun dalam interaksi sosial ketika memasuki fase realistic stage. Dalam kaca mata Ernest Harms, fase ini meniscayakan anak untuk mengkorelasikan nilai-nilai keagamaan yang diajarkan orang tua ke lingkungan sosial mereka di luar rumah. Apa yang anak-anak dapatkan di fase sebelumnya akan sangat berpengaruh pada pola sikap yang akan dipraktikkan dalam interaksi sosial mereka.

Fase sebelumnya adalah the fairy-tale stage. Fase inilah yang sebenarnya menjadi momen yang tepat untuk menanamkan mindset keberagaman pada anak. Di fase ini, orang tua bisa menstimulus sisi kognitif anak dengan memberikan cerita-cerita tentang kehidupan Nabi Muhammad sebagai sosok yang toleran dan menghormati keberagaman.

Dengan bahasa yang sederhana dan menarik, orang tua bisa menekankan salah satu aspek paling mencolok dalam kehidupan Nabi Muhammad, yaitu kemampuan untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang dari berbagai agama. Misalnya, Nabi Muhammad berteman baik dengan Raja Habsyah dari Ethiopia. Padahal sang raja adalah orang Kristen.

Pada kisah lain, Nabi juga berteman baik dengan Abu Thalib. Keluarga dekat, paman Nabi sendiri. Padahal paman Nabi ini enggan memeluk Islam. Ia lebih memilih agama nenek moyangnya, yang menyembah berhala. Kendati demikian sikap pamannya yang tidak masuk Islam, Nabi tidak memusuhinya. Nabi justru menyayanginya. Jika edukasi ini sudah dibiasakan, akan kecil kemungkinan anak akan bertanya tentang kebolehan berteman dengan non-Muslim.

Sekali lagi, jika ada kesempatan anak bertanya demikian, orang tua perlu mengidentifikasi zona sosial yang lain dalam kehidupan si anak. Apakah ia hidup dalam lingkungan yang homogen ataukah hanya butuh divalidasi dengan cerita atau contoh perilaku inklusif. Mungkin, alternatif jawaban orang tua bisa begini,

“Nak, kita semua sama-sama manusia. Kita sama-sama merasa terganggu bila dihina atau disakiti, merasa senang dan gembira bila dibantu dan dipuji. Kita sama-sama kenyang bila makan dan minum. Memang, ada perbedaan di setiap manusia, namun perbedaan itu tidak boleh menghalangi kita dari bergaul bersama mereka, saling bantu membantu dengan mereka, apalagi sampai bermusuhan.”

“Bermain bersama teman-teman kamu yang beda agama itu nggak apa-apa, kamu nggak akan dapat dosa. Justru kalian bisa saling bantu-membantu dan bermain. Yang merupakan perbuatan dosa itu, adalah ketika kamu menyakiti dan memusuhi dia, atau bahkan menghina dan mengolok-olok agama mereka. Nah, itu yang nggak boleh.”

Facebook Comments