Kartini, Perempuan, dan Literasi Dunia Maya

Kartini, Perempuan, dan Literasi Dunia Maya

- in Narasi
954
0

Bulan April selalu menjadi bulan yang istimewa bagi kaum perempuan Indonesia. Tepatnya setiap 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Biasanya, hari tersebut selalu diperingati dengan aneka lomba, yakni lomba memasak, memakai pakaian tradisional, cerdas cermat bertema emansipasi perempuan, dan kegiatan lain sejenis. Banyak cara mengenang jasa-jasa Kartini. Sayangnya kenangan akan Kartini sebatas kegiatan yang sifatnya seremonial yang selalu diulang-ulang dari tahun ke tahun.

Sebagai putri Bupati Jepara, ternyata Kartini juga tidak terlepas dari diskriminasi kaum perempuan. Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja, padahal dirinya anak seorang bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali. Restorasi pemikiran Kartini dimulai saat memikirkan bangsanya sendiri. Ia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya Indonesia. Kartini kecil sadar hanya dengan pendidikan kemajuan bangsanya akan teraih. Disinilah Kartini kemudian memiliki spirit dalam merintis sebuah perubahan. Dia mendirikan sekolah untuk para gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semua diberikan tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.

Tidak Hanya Emansipasi

Dari narasi itu, jelas bahwa keberpihakan Kartini adalah keberpihakan untuk bangsanya. Dia tidak mau melihat anak bangsanya ada yang tertindas. Jadi, apabila kita benar-benar mewarisi spirit Kartini, maka kita juga akan bersikap demikian. Tidak ingin melihat anak bangsa tertindas oleh laku anak bangsa lainnya. Semua harus hidup harmoni. Itulah sebenarnya keinginan Kartini.

Jadi, pada dasarnya spirit Kartini bukan hanya ingin menyuarakan bentuk emansipasi kaum perempuan. Lebih dari itu, ia sebenarrnya punya cita-cita mulia, yakni melihat anak bangsanya berpikir maju, melihat bangsanya mandiri, melihat bangsanya tidak lagi dijajah oleh apa pun. Termasuk ideologi transnasional yang tidak mengarusutamakan kepentingan bangsa dan Negara.

Mengenai ini, sudah sepantasnya kita sebagai generasi pewaris spirit Kartini harus memerankan sebagai sosok yang memiliki visi yang sama dengan Kartini. Terlebih lagi bagi kaum perempuan, mewarisi semangat Kartini menjadi keniscayaan, sebab spirit perjuangan Kartini mencerminkan spirit kaum perempuan Indonesia seutuhnya.

Ada empat hal yang harus kita teladani dari sosok Kartini dan direfleksikan demi kepentingan bersama bangsa Indonesia.

Satu. Kartini tidak menjadi penentang adat meski hatinya galau. Pada akhirnya dia menjalani masa pingitannya dan bersedia dinikahkan dengan lelaki bangsawan pilihan orang tuanya, yaitu K. R. M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah punya 3 istri.

Dua. Kartini MEMBACA. Untuk orang yang pendidikan formalnya harus terhenti pada usia 12 tahun, dengan luar biasanya Kartini mampu membaca banyak buku dan majalah, bahkan yang berbahasa Belanda dan yang tergolong cukup berat bagi perempuan masa kini yang berpendidikan tinggi sekali pun. Ia membaca dan memperhatikan topik-topik sosial, religi, dan umum.

Tiga. Kartini MENULIS. Bukan hanya membaca, perempuan Jawa ini juga menulis. Bukan hanya surat-surat untuk sahabat-sahabatnya seperti Rosa Abendanon dan Stella Zeehandelaar. Tulisan-tulisannya ada juga yang diterbitkan di media cetak di negeri Belanda. Tepatnya di majalah perempuan De Hollandsche Lelie.

Empat. Selain membaca dan menulis, Kartini banyak merenung. Bukan hanya mengkritik, ia juga berbuat. Ia mendirikan sekolah perempuan di Rembang usai pernikahannya tahun 1903. Sekolah perempuan adalah langkah kecil yang bisa dilakukannya untuk membuat perubahan.

Dari sini, jelaslah apabila kita ingin cita-cita Kartini mewujud di Indonesia, maka empat hal ini harus berjalan beriringan. Apalagi mengingat, hari ini marak berkembang berita hoax, suka membeda-bedakan adat budaya dengan agama, berkoar-koar di dunia maya tanpa ada aksi nyata. Empat hal tersebut menjadi penting untuk kita lakukan hari ini.

Mengingat, empat hal itu sebenarnya menjelaskan kepada kita betapa membaca dan memahami menjadi penting agar memiliki karakter dan langkah gerak yang cerdas. Sehingga tidak mudah diadu domba. Betapa adat istiadat harus dijunjung tinggi daripada diperserukan sehingga menimbulkan perpecahan. Betapa aksi nyata juga tak kalah pentingnya dalam membangun sebuah gerakan perubahan.

Bagaimana pun, di era serba berita hoax seperti sekarang, para generasi penerus Kartini harus turut mengkampanyekan empat hal penting tersebut. Terlebih kaum perempuan, karena di tangan merekalah masa depan bangsa diletakkan. Di tangan mereka, harapan Kartini dapat dijunjung tinggi.

Perempuan menjadi madrasah pertama bagi anaknya. Bila perempuan bagus dan berhasil dalam mengajarkan betapa pentingnya budaya literasi (membaca dan menulis), niscaya baguslah kemampuan literasi para generasi penerus bangsa.

Dunia maya yang sering menjadi problem karena banyak yang terpengaruh berita hoax lalu saling membenci dan bahkan berseteru, kini tidak lagi jadi masalah. Hal ini karena generasi yang sudah dibekali kemampuan literer bisa memilih mana informasi di dunia maya yang layak dipercaya dan mana yang bukan. Mana yang bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara. Mana yang merugikan. Itu semua kalau kaum perempuan benar-benar mau mengaplikasikannya.

Itulah sekelumit di antara gerak nyata kaum perempuan dalam mewarisi spirit perjuangan pahlawan Kartini. Wallahu a’lam bish-shawaab.

Facebook Comments