Kaum Muda Sebagai Agent of Peace; Menyebarkan Narasi Damai dan Toleran di Ranah Digital

Kaum Muda Sebagai Agent of Peace; Menyebarkan Narasi Damai dan Toleran di Ranah Digital

- in Narasi
390
0
Kaum Muda Sebagai Agent of Peace; Menyebarkan Narasi Damai dan Toleran di Ranah Digital

Kaum muda selalu identik dengan sikap inovatif dan adaptif pada hal-hal baru. Inilah yang menjadi kekuatan anak muda. Kaum muda selalu menjadi trend setter, baik dalam gaya hidup maupun pemikiran.

Di Indonesia, jumlah anak muda mencapai lebih 65 juta jiwa atau 24 persen dari total populasi. Dalam konteks ekonomi, jumlah 24 persen adalah pangsa pasar yang sangat menggiurkan. Maka, tidak mengherankan jika pelaku usaha saat ini menjadikan kaum muda sebagai target market-nya.

Demikian pula dalam konteks politik. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) jumlah pemilih berusia muda mencapai 100 juta jiwa lebih. Ini artinya, separuh lebih pemilih pada Pemilu 2024 nanti adalah kelompok usia muda. Ceruk yang sangat besar ini tentu menjadi rebutan parpol dan para elite politik yang berlaga di 2024.

Dengan segala previlese tersebut, kaum muda memiliki posisi bargaining position dan power untuk melakukan transformasi sosial dan berperan menyelesaikan problem kebangsaan. Salah satunya adalah melawan narasi radikalisme dan terorisme yang telah menjadi bahaya laten bagi bangsa dan negara.

Meski aksi terorisme menunjukkan tren penurunan, namun radikalisme tetap menghantui masyarakat. Intoleransi dan kekerasan masih menjadi momok kehidupan berbangsa dan bernegara. Tempo hari kita dihebohkan kasus perundungan anak.

Fenomena Gunung Es Konservatisme Beragama

Beberapa hari terakhir, media sosial ramai oleh viralnya video laki-laki memarahi sekumpulan anak muda yang tengah melainkan rebana di masjid. Laki-laki berjenggot panjang itu dengan nada emosional menyebut bahwa memainkan rebana adalah bentuk kemungkaran, apalagi di dalam masjid. Berkali-kali ia mengatakan bahwa Islam mengharamkan musik. Anehnya, selepas ngamuk-ngamuk ia justru duduk di lantai dan mengeluarkan HP lalu memainkannya.

Bagi saya pribadi, kejadian itu sungguh absurd. Sebagai muslim yang lahir di lingkungan keislaman tradisional berbasis NU, tudingan rebana mungkar itu menggelikan. Di lingkungan NU, memang ada kiai atau ulama yang mengharamkan musik.

Namun, belum pernah ada satu pun kiai atau ulama yang mengharamkan rebana. Rebana bahkan telah dianggap sebagai kultur Islam, meski sebenarnya berasal Melayu.

Video viral tersebut kiranya hanyalah puncak fenomena gunung es konservatisme dan takfirisme beragama. Begitu mudah individu melabeli sesuatu yang berbeda dengan cap bidah, kafir, atau sesat. Begitu mudah individu atau kelompok mengklaim penafsirannya atas teks agama sebagai yang paling benar lalu menuding hasil tafsir kelompok lain salah.

Konservatisme dan takfirisme adalah dua cara pandang yang sangat berbahaya dalam negara yang multikultur. Konservatisme mendorong umat beragama untuk bersikap eksklusif dan intoleran. Sedangkan, takfirisme bergerak lebih jauh dengan mendorong umat beragama untuk menuding kelompok lain sebagai bukan bagian dari komunitas agama yang sah (legitimated). Takfirisme pada titik tertentu bisa dijadikan alat untuk menjustifikasi tindakan teror dan kekerasan pada kelompok yang berbeda pandangan.

Kaum Muda dan Tanggung Jawab Sebagai Agen Perdamaian

Situasi keberagaman saat ini memang cenderung centang-perenang. Namun, anak muda tidak boleh kehilangan harapan, apalagi justru ikut arus dalam tarikan konservatisme dan takfirisme. Ada setidaknya tiga langkah yang harus diinisiasi kaum muda saat ini.

Pertama, menghindari polemik berkepanjangan di media sosial atas isu yang tengah menjadi kontroversi. Dalam kasus video viral pengharaman rebana misalnya, kaum muda tidak perlu menambah panas suasana dengan komentar-komentar yang provokatif dan memecah-belah. Kontroversi tidak bisa dipadamkan dengan perang opini.

Kedua, menyebarkan narasi damai dan toleran terutama di ruang digital. Di tengah tarikan konservatisme dan radikalisme, anak muda harus tampil sebagai agen perdamaian (Agent of Peace) yang melawan segala bentuk narasi kebencian dan permusuhan.

Ketiga, aktif membangun narasi alternatif di media digital yang mampu menggusur narasi-narasi kebencian dan adu-domba. Di tahun politik yang panas ini, ranah digital kita cenderung didominasi oleh narasi berbau sentimen kebencian dan permusuhan.

Fanatisme politik yang berkelindan dengan konservatisme agama menjadi stimulus bagi munculnya kontroversi dan perang opini yang lahirnya memecah-belah masyarakat. Idealnya, kaum muda harus aktif memproduksi konten yang mencerahkan sekaligus mendamaikan. Jika tidak, cukuplah tidak menambah kegaduhan dunia digital dengan konten-konten yang kontroversial. Di tengah segala kesengkarutan dunia digital itu, memproduksi konten receh yang sekadar berbagai kelucuan atau humor jauh lebih baik ketimbang ikut arus ke dalam pusaran perdebatan yang tidak perlu.

Tugas sebagai agen perdamaian ini memang lebih banyak dibebankan ke pundak kaum muda. Hal itu bukan tanpa sebab. Dalam perjalanan sejarah bangsa, kaum muda selalu menjadi aktor penting dalam perubahan sosial. Dimulai sejak era pra-kemerdekaan, yakni lahirnya Boedi Oetomo (1908), Sumpah Pemuda (1928), hingga revolusi 1945, lalu era pasca kemerdekaan yaitu Reformasi 1998, kaum muda selalu memegang peran sentral.

Kini, di tengah era disrupsi digital peran kaum muda dalam perubahan sosial sekali lagi diharapkan. Kaum muda harus tampil sebagai agen keramaian yang mengambil inisiatif untuk melawan segala narasi kebencian, permusuhan dan adu-domba yang dikemas dalam isu politik maupun agama.

Facebook Comments