Pada bulan November tahun 2018, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis hasil survei bertajuk “Efektivitas Kearifan Lokal dalam Menangkal Radikalisme di Era Milenial di 32 Provinsi.”. Survei tersebut digelar mulai bulan Januari–Oktober 2018 yang melibatkan 14.400 responden. Dari survei itu, diketahui sebanyak 63,60 persen responden memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa kearifan lokal adalah senjata ampuh untuk melawan paham radikal.
Hasil temuan tersebut, juga senada dengan yang disampaikan oleh Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid. Yenny Wahid mengatakan bahwa kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat di setiap desa dapat menjadi penangkal radikalisme, (Kompas, 8/2/2019). Putri Gus Dur tersebut juga menyarankan agar menghidupkan kembali ruang-ruang berkumpul. Sebab, hal itu bisa menjadikan masyarakat saling mengenal dan tidak ada kecurigaan satu sama lain. Dengan saling mengenal, maka masyarakat tidak mudah diadudomba, dipecah belah dan sulit disusupi oleh paham radikal.
Kearifan lokal atau local wisdom menurut penulis memang memiliki kelebihan tersendiri dalam menangkal berkembangnya paham radikal. Tapi apakah kearifan lokal itu? Kearifan lokal adalah adat istiadat atau kebiasaan suatu masyarakat yang merupakan warisan para leluhur dan sudah dilakukan turun temurun bahkan dilaksanakan hingga hari ini. Biasanya kearifan lokal ini menjadi ciri bangsa dan masyarakat tertentu. Kearifan lokal beragam bentuknya, seperti adat istiadat, falsafah hidup, cerita rakyat, peribahasa, lagu, permainan rakyat dan lain sebagainya.
Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki ribuan kearifan lokal warisan para leluhur. Kearifan lokal tersebut tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kearifan lokal-kearifan lokal ini harus terus dirawat dan dilestarikan agar bisa menjadi senjata ampuh untuk melawan paham radikal. Ada beberapa contoh kearifan lokal warisan leluhur yang bisa dijadikan senjata utama dalam menanggulangi penyebaran paham radikal di masyarakat.
Pertama, budaya unggah ungguh dan tepo seliro masyarakat Jawa. Orang jawa memiliki budaya unggah-ungguh atau saling menghormati satu sama lain. Anak muda menghormati yang tua, begitupun sebaliknya. Sementara tepo seliro adalah sikap tenggang rasa terhadap sesama, saling peduli, saling kasih mengasihi antar saudara, tetangga, teman bahkan orang lain.
Kedua falsafah orang Jawa ini bisa menjadi penangkal ampuh paham radikal. Seseorang tidak akan mungkin menjadi radikal dan dengan mudah melakukan amaliah bom bunuh diri, jika di dalam hatinya masih ada unggah-ungguh dan tepo seliro terhadap orang lain. Ia tidak akan tega mencelakai orang lain, karena masih menghormati dan peduli atas nyawa orang lain.
Kedua, tradisi siskamling atau ronda malam. Siskamling adalah kependekan dari sistem keamanan lingkungan. Siskamling merupakan sebuah program di masyarakat yang diselenggarakan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Siskamling dilaksanakan setiap malam di pos ronda yang petugasnya diacak secara bergiliran. Siskamling menjadi media untuk silaturahmi dan saling mengenal antar warga. Tradisi siskamling ini masih sangat lestari di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Siskamling dapat menjadi senjata ampuh untuk melawan perkembangan paham radikal di masyarakat. Sebab, dengan kumpul-kumpul di pos ronda, warga masyarakat bisa bertukar informasi terkini dan berdiskusi terkait isu-isu aktual di negeri ini. Sehingga mereka menjadi orang yang berpikiran terbuka dan tidak mudah menyalahkan, apalagi mengkafirkan orang lain. Suatu hal yang begitu mudah diucapkan oleh orang berpaham radikal. Mereka akan sulit terinfiltrasi paham radikal karena sering berdiskusi dan berinteraksi dengan banyak orang.
Ketiga, permainan tradisional bentengen. Permainan tradisional bernama bentengan ini adalah sebuah permainan yang dimainkan oleh dua grup. Masing-masing grup memiliki suatu benteng atau markas, biasanya tempat yang dijadikan benteng adalah pohon, tiang, batu dan lain sebagainya. Tujuan utama dari permainan ini adalah menguasai benteng lawan dengan menyentuhnya dan juga menawan lawan.
Permainan tradisional bentengan dapat menangkal perkembangan paham radikal di kalangan anak-anak. Anak-anak yang terbiasa main bentengan tidak akan mudah dibujuk rayu untuk membenci orang yang berbeda dengan dirinya. Sebab, permainan bentengan mengajarkan sportivitas, kekompakan, kejujuran, setia kawan, bahkan menghargai lawan. Lawan saja dihargai, apalagi orang lain? Selain bentengan, ada banyak permainan tradisional yang bisa dijadikan benteng radikalisme seperti grobak sodor, petak umpet, ular naga, cublek-cublek suweng dan lain-lain.
Ketiga kearifan lokal tersebut adalah contoh yang bisa dijadikan senjata ampuh untuk melawan paham radikal. Tentu saja, selain ketiganya, ada ribuan kearifan lokal yang bisa membentengi masyarakat dari paham radikal. Kearifan-kearifan lokal tersebut harus dijaga, dilestarikan, dikembangkan dan disosialisasikan kepada generasi milenial agar terus ada.
Melestarikan kearifan lokal sangat urgen untuk dilakukan, karena survei BNPT yang telah disebutkan sebelumnya, juga menemukan bahwa sebanyak 30,09 persen responden mengatakan tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang kearifan lokal. Hal itu, menurut 28,33 persen responden, karena kurangnya sosialisasi kearifan lokal, utamanya di kalangan generasi milenial.
Oleh karena itu, pemerintah dan berbagai elemen masyarakat harus berupaya untuk mensosialisasikan kearifan lokal di era digital secara luas agar keberadaannya tetap lestari. Sehingga perkembangan paham transnasional yang membawa paham radikal dapat dilawan.