Peran “khalifah” adalah mandatory dari Tuhan yang Maha Kuasa yang dilimpahkan kepada manusia sebagai penduduk di muka bumi. khalifah dapat terjadi karena ada tiga unsur yang saling berhubungan, yaitu pertama adalah manusia sebagai khalifah.
Khalifah adalah seorang hamba Allah yang mendapatkan mandat sebagai pelaksana, pengatur, penentu kebijakan dan menetapkan hukum-hukum sesuai dengan kehendak Allah dan aspirasi orangorang yang membaiatnya sebagai khalifah, kedua, adalah bumi. Bumi atau wilayah tertentu adalah tempat atau sarana dalam melaksanakan kekhalifaan. Bumi merupakan tempat berbagai potensi yang dibutuhkan oleh manusia untuk mendapatkan kesejahteraan.
Oleh karena itu, khalifah berkewajiban mengelola bumi dan semua isinya atau sumber-sumbernya untuk kesejahteraan manusia secara universal. Pada dasarnya, mandat ini adalah untuk kebaikan umat manusia itu sendiri.
Salah satu referensi tentang bagaimana manusia mengelola diri dan lingkungannya adalah dengan melalui kearifan lokal. Kearifan lokal adalah pengetahuan, nilai, dan praktik yang berkembang secara turun-temurun dalam suatu komunitas, sering kali terikat pada lingkungan dan budaya mereka.
Dalam konteks ini, kearifan lokal tidak hanya mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dengan alam, tetapi juga antara manusia dengan sesamanya, serta dengan Tuhan. Konsep ini memperlihatkan bagaimana manusia dapat hidup selaras dengan tatanan kosmik yang lebih besar, yang dalam pandangan banyak budaya tradisional, diatur oleh Tuhan atau kekuatan ilahi.
Pada tataran tertentu, kearifan lokal adalah manifestasi dari kearifan Tuhan melalui beberapa asumsi berikut. Pertama, kearifan lokal sering kali berbasis pada pemahaman mendalam terhadap alam dan siklus kehidupan. Pengetahuan ini bukan hanya hasil dari pengalaman empiris manusia, tetapi juga bisa dipahami sebagai hasil dari petunjuk ilahi.
Dalam banyak kebudayaan, alam dianggap sebagai “kitab terbuka” yang di dalamnya Tuhan meletakkan petunjuk bagi manusia. Dengan demikian, kemampuan suatu komunitas untuk hidup selaras dengan alam menunjukkan bagaimana mereka telah menangkap pesan-pesan Tuhan yang tersembunyi di balik fenomena alam.
Sebagai contoh, masyarakat adat di berbagai daerah memiliki praktik-praktik bertani yang memperhitungkan siklus musim, fase bulan, dan tanda-tanda alam lainnya. Pengetahuan ini mereka yakini bukan sekadar hasil observasi biasa, melainkan sebuah petunjuk yang lebih tinggi dari Tuhan untuk menjaga keseimbangan alam.
Di Maluku, ada praktik tradisional bernama “Sasi”, sebuah aturan adat yang melarang pengambilan sumber daya alam seperti ikan atau hasil hutan pada waktu tertentu. Sasi diberlakukan sebagai upaya untuk memberikan waktu bagi alam untuk pulih, sehingga keberlanjutan sumber daya dapat terjaga.
Dalam masyarakat adat Maluku, Sasi memiliki dimensi spiritual yang sangat kuat. Mereka percaya bahwa segala sumber daya yang ada di bumi ini adalah pemberian Tuhan yang harus dipelihara dengan penuh tanggung jawab. Pelanggaran terhadap aturan Sasi tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran terhadap komunitas, tetapi juga sebagai bentuk ketidaktaatan terhadap kehendak Tuhan. Melalui penghormatan terhadap Sasi, masyarakat Maluku menjaga keharmonisan mereka dengan alam dan Tuhan, dengan mengakui bahwa mereka hanyalah penjaga sementara dari apa yang telah diberikan oleh Sang Pencipta.
Dengan mengikuti siklus alam yang sudah ditentukan, mereka menunjukkan penghormatan terhadap “aturan” Tuhan yang tercermin dalam alam semesta. Prinsip menjaga keseimbangan alam ini sangat berhubungan dengan ajaran agama-agama besar yang mengajarkan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, yakni menjaga dan memelihara bumi dengan penuh tanggung jawab.
Kedua, kearifan lokal juga sering mengandung nilai-nilai moral yang tinggi. Banyak tradisi lokal menekankan pentingnya kejujuran, tanggung jawab, menghargai sesama, dan keadilan. Nilai-nilai ini sangat sesuai dengan ajaran moral agama yang memandang manusia harus berperilaku sesuai dengan kehendak Tuhan. Misalnya, dalam banyak kebudayaan lokal, terdapat adat istiadat yang menegaskan pentingnya menjaga keharmonisan sosial dan menghormati satu sama lain.
Ajaran untuk tidak saling merugikan dan hidup dalam kedamaian ini bisa dilihat sebagai manifestasi dari perintah-perintah Tuhan yang menghendaki umat manusia untuk hidup dalam kebaikan dan cinta kasih.
Di Jawa, ada tradisi “Kombongan” yang melibatkan masyarakat berkumpul untuk berbagi hasil panen dalam semangat gotong royong. Kombongan adalah salah satu bentuk kebersamaan sosial yang menekankan pentingnya kesejahteraan bersama di atas keuntungan individu. Di dalam tradisi ini, terdapat nilai keagamaan yang kuat, di mana masyarakat percaya bahwa Tuhan memberkati mereka yang mau berbagi dengan sesama.
Kearifan lokal ini mengajarkan bahwa keberkahan dari Tuhan tidak hanya datang dari usaha pribadi, tetapi juga melalui hubungan sosial yang kuat dan gotong royong. Dalam pandangan spiritual, berbagi dengan orang lain adalah salah satu cara untuk merayakan berkah Tuhan dan memastikan bahwa semua orang dalam komunitas dapat merasakan nikmat yang sama. Ini mencerminkan prinsip ketuhanan bahwa segala rezeki yang diberikan oleh Tuhan harus digunakan untuk kebaikan bersama.
Di tengah globalisasi dan modernisasi, ada tantangan besar untuk tetap menjaga kearifan lokal. Tulisan ini mengasumsikan bahwa mempertahankan kearifan lokal berarti menjaga hubungan kita dengan Tuhan dan alam semesta ciptaan-Nya. Kearifan Tuhan yang terkandung dalam tradisi-tradisi lokal ini tidak hanya relevan bagi komunitas tertentu, tetapi juga bisa memberikan panduan hidup yang lebih luas bagi masyarakat modern yang sedang mencari jalan menuju kehidupan yang lebih bermakna dan harmonis.
Oleh karena itu, mengapresiasi dan menjaga kearifan lokal adalah salah satu cara kita menghargai dan memahami kearifan Tuhan. Melalui pelestarian nilai-nilai tersebut, kita tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga memperdalam hubungan kita dengan Tuhan dan seluruh ciptaan-Nya.