Bukan sekali bahkan berulang kali kita mendengar pengakuan masyarakat pasca penangkapan dan pengumuman tersangka teroris. Beberapa dari mereka acapkali mengeluarkan komentar hampir seragam. “orang ini sangat tertutup”, “si X jarang sekali kelihatan di rumahnya”, “si X sudah lama di sini, tetapi jarang berbaur dengan warga” . Terakhir kalimat penutupnya adalah “saya tidak menyangka si X adalah teroris”.
Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan beberapa hal. Pertama, masih adanya keterkejutan masyarakat terhadap pelaku terorisme di sekitar mereka. Kedua, kekurangsigapan masyarakat di lingkungan sosial dalam mendeteksi adanya potensi ancaman terorisme. Ketiga,ketidaksadaran masyarakat bahwa ruang sosial mereka sering dimanfaatkan menjadi ruang bermain kelompok teroris.
Apatisme dan ketidakpedulian masyarakat adalah rongga besar yang dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk tumbuh subur di tengah masyarakat. Masyarakat yang rentan seperti tidak peduli, apatis, kurang memahami, dan enggan melapor merupakan faktor yang membuka ruang kelompok teroris saling berkomunikasi secara aman dan terbuka.
Harus dipahami, sebenarnya terorisme fenomena kompleks yang tidak mempunyai akar dan sumber tunggal (Tore Bjorgo, 2013). Artinya keterpengaruhan atau bergabungnya seseorang dalam jaringan kelompok teroris bukan proses yang instan. Ada beberapa proses dan tahapan yang menyebabkan seseorang jatuh dan terpedaya dalam jaringan teroris.
Keterpengaruhan seseorang dari jaringan terorisme tergantung pada tingkat kerentanannya. Ada tiga konsep dalam memahami hal tersebut yakni kerentanan (vulnerability), resistensi (resistance), dan ketahanan (resilience) (Ekici, 2009). Kerentanan merujuk pada kondisi lingkungan dan masyarakat yang mudah terserang terorisme atau masyarakat yang tidak peduli dengan aktifitas terorisme.
Resistensi merupakan upaya peningkatan kemampuan lingkungan dan masyarakat untuk mengurangi dan menghilangkan sifat kerentanannya dalam menghadapi terorisme. Resistensi di sini juga berarti sikap dan kegiatan pro-aktif dalam mewaspadai gejala terorisme. Sementara, resiliensi merupakan suatu tingkatan ketahanan lingkungan dan masyarakat yang dalam waktu dan tempat manapun sudah sigap dan siap dalam menghadapi ancaman terorisme.
Gotong Royong Lawan Terorisme
Upaya mencapai suatu kondisi ketahanan dalam menghadapi ancaman terorisme tidaklah mudah. Perlu upaya yang menyeluruh dari seluruh komponen bangsa dalam upaya mencegah terorisme. Selama ini, ada dua pendekatan dalam upaya mencegah terorisme. Pertama, pendekatan struktural melalui pendekatan kelembagaan seperti intelijen, militer, penegakan hukum, pengawasan perbatasan, dan perlindungan transportasi dan lingkungan. Kedua, pendekatan komunitas melalui kerjasama antara penegakan hukum dengan masyarakat. Tujuannya adalah membangun kerjasama dan kepercayaan antara komunitas dengan aparat penegak hukum.
Beberapa negara sudah mengedepankan pendekatan komunitas tersebut ketika menyadari bahwa pendekatan struktur tidak cukup mampu dalam mencegah ancaman terorisme. Beberapa pengalaman negara lain misalnya di AS mengenailkan the Neighborhood Watch Program (NWP) pencegahan di lingkungan warga dan the Business Watch Program (BWP) pencegahan di lingkungan pekerjaan, di Inggris ada program serupa yang disebut Cafe city program, dan yang menarik seperti di Turki Familiy Policing program dengan melakukan pendekatan emosional keluarga dalam pencegahan terorisme (Ekici, 2009).
Sejatinya pendekatan komunitas yang dikenalkan oleh beberapa negara sudah dipraktekkan lama dalam kehidupan berbangsa ini. Bangsa ini adalah bangsa yang guyub, bangsa yang menekankan kebersamaan dalam segala aspek kehidupan. Keramahtamahan adalah nafas etika dan moral sosial yang selalu menghiasi kehidupan masyarakat kita.
Gotong royong merupakan watak dan semangat bangsa yang sudah teruji sukses dalam lintasan sejarah dalam memikul beban dan tanggungjawab sejarah bangsa. Semangat gotong royong ini patut dihidupkan kembali sebagai benteng di tengah masyarakat dalam upaya pencegahan dan perlawanan terhadap terorisme.
Gotong royong mendorong semangat kebersamaan, mencairkan ketidakpedulian sesama tetangga, membangkitkan silaturrahmi untuk saling mengenal satu sama lain, dan menebar kasih sayang di tengah keluarga dan masyarakat secara luas. Intinya kebersamaan adalah kunci dalam menangkal paham dan aksi terorisme. Mari Gotong Royong Melawan Terorisme.