Dalam kebudayaan Jawa konon perempuan memiliki kadar kehalusan yang melebihi lelaki. Seandainya lelaki butuh waktu 40 hari dalam masalah tirakat atau penghalusan diri, perempuan hanya membutuhkan waktu 7 hari untuk mencapai efek yang sama. Namun, tentu saja godaan pada perempuan melebihi godaan pada lelaki.
Untuk itu citra diri modern yang selama ini dikenakan pada perempuan—emosional dan intuitif—tak sepenuhnya salah, meskipun kesalahan berpikir modernisme terletak pada upaya penyamaan yang akrab disebut sebagai “emansipasi gender.” Maka, dalam banyak hal yang berkaitan dengan masalah spiritualitas, lelaki yang “terpilih” tak dapat dilepaskan dari perempuannya. Taruhlah jejer pembeat atau pewejang dalam banyak aliran kejawen atau dalang wayang purwa khususnya wayang ruwat yang kebanyakan didominasi oleh lelaki, keberadaan mereka tak lazim untuk tak didampingi oleh perempuan.
Kebudayaan Jawa, secara filosofis, menganut paradigma “roroning atunggil” atau dua unsur yang dapat dibedakan namun tak dapat diceraikan. Secara pascakolonial, semestinya relasi antara lelaki dan perempuan berlangsung pada kondisi roroning atunggil semacam itu. Pada kondisi ini justru perbedaan dan bukan persamaannya yang mesti ditonjolkan.
Identitas atau keunggulan perempuan daripada lelaki adalah justru terletak pada apa yang menurut kamus kelelakian menjadi kelemahan perempuan semisal emosional ataupun intuitif dan begitu pula sebaliknya. Sebab kalau perempuan mesti disamakan dengan lelaki, seperti ide dasar yang melatari konsep emansipasi modern, jelas yang terjadi adalah perempuan yang “dimakan” oleh lelakinya, atau si perempuan terjebak keadaan yang tak ia miliki secara alamiah, dan begitu pula sebaliknya.
Ketika kondisi roroning atunggil itu dapat dicapai secara ideal, maka sifat komplementerlah yang akan dapat terjadi dan bukannya persamaan semu yang sejatinya adalah upaya peminggiran dan bahkan penindasan pada salah satu pihak, baik simbolik maupun fisikal. Di sinilah konon imperialisme dan kolonialisme Barat pada Timur bermula. Barat yang rasional pada akhirnya berupaya menakhlukkan Timur yang irasional.
Proses pertumbuhan seorang anak jelas membutuhkan komplementaritas seperti itu untuk mendapatkan titik idealnya. Radikalisme, bagi saya, adalah juga sebuah kondisi dimana unsur kelelakian, seperti karakter “kemaco-macoan,” ataupun unsur keperempuanan, semisal irasional dan emosional, terlalu dominan. Jadi, secara kependidikan, proses pembentukan karakter tak terjadi secara roroning atunggil. Sebab, jelas pada kasus radikalisme watak kemaco-macoan tak dapat dibedakan dengan karakter irasional dan emosional. Atau dengan kata lain, lelaki menjadi tak ada beda dengan perempuan.
Maka, bagi saya, dapat ditarik kesimpulan pula bahwa radikalisme adalah fenomena khas peradaban modern yang sudah semestinya menjadi sampah sejarah di hari ini ketika ramai orang berupaya menyongsong dan menyiapkan generasi emas yang mesti merdeka pula dari radikalisme dan terorisme yang jelas-jelas tak emas.