Kelahiran Sang Juru Damai dan Peradaban Damai

Kelahiran Sang Juru Damai dan Peradaban Damai

- in Narasi
1308
0

Perasaan berseri-seri sekaligus sedih bersemayam di benak Aminah binti Wahab. Gembira karena pada hari kedua belas di bulan Rabiul Awal tersebut buah hati yang selama ini dinantikannya telah lahir. Sedih jika mengingat bayi itu terlahir sebagai seorang yatim. Bayi itu hadir pada tahun ketika Abrahah gagal melakukan ekspedisi penyerangannya ke Mekkah (sekitar tahun 570 M). Segera saja, sebuah nama disematkan kepada bayi tersebut: Muhammad. Nama yang akhirnya mengguncang dunia dengan keteladanannya yang agung. Sosok yang tidak pernah letih menggelorakan cinta kasih dan perdamaian kepada sesama.

Ya, Muhammad memang nabi yang cinta damai. Ajaran itu tidak sekedar ucapan belaka, melainkan sekaligus dipraktikkan dalam kesehariannya. Periode terberat dihadapi rasulullah saat melakukan dakwahnya di Mekkah. Masyarakat di kota kelahirannya ternyata tidak sudi dengan ajaran yang dibawa olehnya. Tidak jarang, beragam upaya untuk menyakiti dan mengintimidasi dilakukan terhadap Rasulullah. Seperti dilempari kotoran dan bahkan usaha pembunuhan. Fitnah dan tuduhan keji pun menjadi santapan kesehariannya. Seperti dianggap orang gila, penyihir, dsb. Tetapi beragam ujian dan tantangan ini dihadapinya dengan santai. Tidak pernah terbersit dalam dadanya untuk melakukan balas dendam terhadap orang-orang yang pernah menyakiti dirinya. Hal inilah yang membuat sosok Rasulullah begitu berkesan. Perjalanan hidupnya sarat dengan pesan-pesan perdamaian.

Ridwan Lubis, dalam Agama dan Perdamaian: Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan, menjelaskan tentang pengertian perdamaian. Secara etimologis, kata damai (peace) ditemukan sekitar abad ke-12 yang berasal dari bahasa Inggris abad pertengahan yaitu pess. Kata tersebut diambil dari bahasa Anglo-Prancis pes. Sementara pes didapatkan dari bahasa latin yaitu pax yang berarti persetujuan, diam, damai, atau keselarasan. Lawan katanya adalah conflict yang bermakna membentur, menolak, dan tidak selaras. Dari segi makna, perdamaian adalah tidak adanya peperangan, konflik, atau kekerasan. Konflik dapat menjurus pada peperangan antar individu atau kelompok dengan tujuan menghilangkan potensi kekuatann maupun hak hidup pihak lain. Penyebabnya adalah kebencian yang tidak bisa lagi didamaikan (2017: 314). Dari sini bisa kita simpulkan, bahwa Islam adalah agama yang cinta damai.

Tetapi hal ini yang belakangan menjadi pekerjaan besar bagi kaum Muslim. Banyak orang/kelompok yang mengaku sebagai pemeluk Islam tetapi perilaku dan perbuatannya bertentangan dengan spirit perdamaian. Teroris berkedok Islam merebak di berbagai penjuru dunia. Peristiwa brutal yang terjadi adalah ledakan bom yang disertai serangan senjata di Sinai Utara, Mesir, pada Jumat 24/11/2017. Sejauh ini, sudah ada 235 orang yang meninggal dunia. Diduga keras, ISIS –yang selama ini berkoar-koar sebagai gerakan pengusung Islam- berada di balik serangan mematikan tersebut. Jelas, ini bukanlah cerminan Islam yang sebenarnya. Sebab rasulullah begitu santunnya terhadap siapapun. Bahkan kepada kelompok yang berbeda.

Menurut Raghib As-Sirjani, asas perdamaian dan keselamatan dalam Islam menciptakan perjanjian antara kaum Muslimin dan non Muslim. Perjanjian ini dapat berupa gencatan senjata dan berusaha mengembalikan pada kondisi kedamaian abadi. Periode panjang peradaban Islam pun mempraktikkan kesepakatan dengan non Muslim. Misalnya perjanjian damai Rasulullah dengan penduduk Yahudi Madinah saat beliau memasuki kota tersebut. Dalam kesepakatan itu, orang-orang Yahudi akan bahu-membahu dengan kaum Muslimin. Kaum Yahudi pun memiliki hak dalam menjalankan agama mereka, begitu pun sebaliknya. Ada juga perjanjiang Rasulullah dengan kaum Nasrani di Najran untuk saling menciptakan perdamaian (2012: 159-160).

Dalam pengamatan Antonio, Rasulullah sebagai seorang negarawan (stateman) mempunyai pikiran untuk menciptakan jaminan ketenangan dan keamanan bagi semua warganya. Tanpa pengecualian dan diskriminasi. Nabi Muhammad tidak pernah berpikir membangun kerajaan. Dia hanya menginginkan ketenangan jiwa bagi warga madinah dalam menganut dan mengamalkan agaran agama dan kepercayaannya masing-masing. Suami dari Khadijah ini pun memberikan jaminan keamanan bagi kelompok minoritas (zimmi) dengan jawanya sendiri. Dia pernah mengeluarkan pernyataan lewat lisannya, bahwa siapa yang menganiaya kelompok minoritas, niscaya sama saja dengan menganiaya dirinya. Status hak dan kewajiban antara orang Arab dan non arab (‘ajm) adalah sama, begitu pun pendatang dan penduduk asli. Hukum menjadi panglima untuk menjamin hak dan kewajiban setiap warganya (2007: 156).

Maka, dalam momentum peringata kelahiran Nabi Muhammad ini, mari kita kembali mengkaji ajaran kebaikan dan perdamaian yang telah disabdakan dan dicontohkan. Pahamilah dengan sesungguhnya, bahwa kehadiran agama adalah untuk kesejukan antar umat manusia. Tidak perlu bertikai dan bermusuhan hanya karena sedikit perbedaan. Apalagi menganggap permusuhan berasal dari agama dan dituntunkan untuk dilaksanakan. Pola pikir seperti ini jelas-jelas bertentangan keras dengan hakekat agama yang menginginkan kasih sayang dan keharmonisan hidup. Mari, kita tanamkan dalam diri, bahwa agama adalah sumber perdamaian.

Facebook Comments