Relawan Perdamaian Menegakkan Adab di Media Sosial

Relawan Perdamaian Menegakkan Adab di Media Sosial

- in Narasi
1415
0

Dewasa ini, perkembangan teknologi informasi membawa dampak luar biasa di segala sendi kehidupan. Media sosial misalnya, kini seakan sudah tak terpisahkan dalam keseharian kita. Orang-orang dengan gampang membuat dan membagikan konten melalui akun-akun media sosialnya. Belum lagi pelbagai informasi dari media yang tiap hari berdesakan di timeline berebut perhatian kita.

Media sosial memang memberi kemudahan berkomunikasi dan berjejaring membangun relasi tanpa batas. Masalahnya, media sosial juga membawa dampak buruk, seperti menguatnya budaya kebencian. Mudah kita temui di media sosial hari ini, bagaimana isu-isu apa pun akan memantik komentar berupa ujaran kebencian, makian, dan hinaan. Kabar tentang kebijakan pemerintah, kabar tentang dinamika politik, kemiskinan, sampai kabar tentang artis atau public figure hampir tak pernah luput dari komentar-komentar penuh hujatan, sehingga memuncukan pertikaian.

Belakangan ini kita melihat betapa garangnya orang-orang di media sosial. Terlebih, ketika menanggapi persoalan-persoalan yang menyangkut isu-isu sensitif seperti suku, agama, ras dan antar golongan. Bahkan, kabar yang substansinya tak berbicara tentang hal-hal tersebut, bisa tiba-tiba diseret ke sana dan akhirnya menyulut pertikaian. Apa yang sebenarnya terjadi dengan masyarakat kita?

Munculnya “monster”

Menguatnya hujatan di media sosial atau cyber bullying, pada dasarnya merupakan fenomena global. Menguatnya kebencian di media sosial tak hanya ada di Indonesia, namun hampir terjadi di seluruh dunia. Joel Stein, sebagaimana dikutip Arman Dani (Tirto, 20/10/2016), menulis artikel di Time tentang mengapa masyarakat modern tunduk pada budaya kebencian di internet. Menurutnya, internet tak hanya membawa kemudahan bertukar informasi, namun telah menjadi tempat saling menghina dan menghancurkan hidup orang lain. Orang bisa berkomentar semaunya, memaki, dan menghina tanpa adab.

Psikolog menyebut fenomena tersebut terjadi karena online disinhibition effect, yakni faktor-faktor seperti anonimitas, ketidaktampakan, minimnya otoritas, dan tak harus bertemu yang akhirnya melahirkan kebencian. Orang yang gemar memaki dan menghina sembari menikmati kebebasan internet, lanjut Stein, disebut sebagai trolls: monster yang bersembunyi di balik kegelapan dan mengancam orang lain yang dianggapnya rendah. Trolls melakukan tindakan menghina, membuat lelucon, atau melakukan pelecehan dan menjadikan media sosial serta kolom komentar sebagai lapangan hinaan, pamer pengetahuan, dan komentar kasar sembari merendahkan.

Bahkan, mereka, para trolls ini tak sekedar mengarahkan sasaran kebencian ke objek yang lemah. Maraknya bullying, teror, dan tekanan yang diterima para selebriti atau pesohor di media sosial menggambarkan bahwa hujatan bisa menyasar siapa saja. Di Indonesia, beberapa waktu belakangan ini kita melihat bagaimana orang-orang di media sosial begitu riuh membicarakan dan menghujat para artis. Mulai hujatan pada artis yang dikabarkan selingkuh dan merusak rumah tangga orang lain, artis yang dikabarkan pindah keyakinan, sampai artis yang melepas jilbab. Persoalan pribadi yang terus dieksploitasi media pada akhirnya menjadi ladang tumbuhnya pertikaian ketika dihadapkan para mereka yang gemar menghujat.

Menegakkan adab

Karakteristik yang diperlihatkan para trolls atau mereka yang menikmati kebebasan internet untuk menghujat orang lain, pada dasarnya menggambarkan telah lunturnya adab. Adab, sopan santun, dan kesadaran untuk menghargai orang lain seakan menjadi sesuatu yang langka di era media sosial. Kemudahan berekspresi membuat orang lupa pada nilai-nilai penting dalam menjalin relasi. Mengikisnya adab di media sosial yang ditandai maraknya ujaran kebencian (hate speech) pada akhirnya menyadarkan kita akan pentingnya kembali menegakkan nilai-nilai keadaban.

Pada pertengahan tahun ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan fatwa tentang penggunaan media sosial. Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui media sosial tersebut di antaranya memuat larangan melakukan ghibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain), fitnah, namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan. MUI juga melarang aksi bullying, ujaran kebencian dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan (Kompas, 5/6/2017).

Fatwa MUI tersebut memberi gambaran betapa pentingnya kita menghindari laku menghujat, membenci, memfitnah, dan segala hal yang memancing permusuhan di media sosial. Artinya, kita harus kembali menegakkan nilai-nilai keadaban di media sosial, seperti penghormatan pada orang lain dan perbedaan, sopan santun, toleransi, rendah hati. Jika nilai-nilai tersebut kita pegang, kita tak akan mudah menuduh, mengklaim, menilai, dan menyerang orang lain. Sebalinya, nilai-nilai keadaban tersebut akan mengantarkan orang pada kebijaksanaan. Sebab, kita akan lebih disibukkan dengan kekurangan diri sendiri ketimbang sibuk menilai orang lain.

Menegakkan adab di media sosial adalah bagian dari ikhtiar menggerakkan perdamaian. Sebab, telah banyak kasus ketegangan, pertikaian, dan kekerasan yang terjadi di masyarakat bermula dari hujatan dan pertikaian di media sosial. Dengan kata lain, di era internet sekarang, menegakkan adab di media sosial adalah bagian penting dalam upaya besar menggerakkan terciptanya perdamaian. Wallahu a’lam

Facebook Comments