Laju radikalisme Islam yang kelompok radikal pertontonkan selama ini tidak bisa dihadang hanya dengan perdebatan pada ranah pemikiran saja, karenanya diperlukan sebuah upaya nyata untuk menggerakan seluruh lapisan masyarakat muslim di Indonesia untuk kembali pada Islam Nusantara.
Ketika kelompok radikal mengusung semangat untuk meng-Arab-kan (Arabisasi) Islam, kita menghadangnya dengan wajah Islam yang telah mengakar dalam kebudayaan di Indonesia, yakni Islam Nusantara. Islam Nusantara adalah Islam yang telah menyatu dengan budaya, sangat khas Indonesia, sehingga tidak selalu searah dengan ke-Arab-an. Islam Indonesia bisa dan telah menjadi penyaring bagi segala upaya radikalisme Islam. Segenap usaha politikisasi (bukan politisasi) dan ideologisasi Islam bukan hanya akan sia-sia, namun juga dapat membahayakan bentuk ideal dari Islam Indonesia itu sendiri.
Sebagai contoh, organisasi keagamaan NU menyatakan setia membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan dalih prinsip kemaslahatan umat yang lebih besar. Hal tersebut berdasarkan keputusan Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin yang menegaskan bahwa keutuhan bangsa yang dihuni masyarakat yang beragam dan dalam situasi perjuangan kemerdekaan merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dijaga.
Muktamar saat itu juga membahas tentang dua pertanyaan penting, yakni; Pertama, wajibkah bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia Belanda, demikian negara kita waktu itu disebut, padahal diperintah orang-orang non-muslim? Jawabannya adalah wajib hukumnya secara agama. Hal ini dilandaskan pada dua sebab: karena kaum muslimin bebas merdeka menjalankan ajaran Islam dan karena dahulu di kawasan ini telah ada Kerajaan Islam. Jawaban kedua ini disandarkan pada karya tulis tentang hukum agama karya ulama klasik berjudul “Bughyah al-Mustarsyidin“.
Pertanyaan kedua, wajibkah didirikan negara Islam untuk melaksanakan syariat? Jawabnya justru tidak. Mengapa demikian? Karena syariat dapat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat atau warga negara tanpa perlu kontrol negara.
Menengok sejenak ke belakang, pada awal-awal tahun 1950-an terjadi pertentangan sengit antara gerakan-gerakan Islam dengan kaum ‘abangan’ di Indonesia. Mereka berbeda pendapat soal harus atau tidaknya syariat Islam dicantumkan dalam konstitusi negara. Perdebatan saat itu dihentikan oleh Presiden Soekarno melalui dekrit. Presiden menganggap berlarutnya perdebatan soal ideologi justru berbahaya bagi persatuan bangsa.
Saat ini justru kelompok radikal menghendaki formalisasi Islam dalam kehidupan bernegara. Gagasan itu mengesampingkan keragaman yang telah menjadi takdir bangsa ini. Sementara mayoritas muslim yang memiliki pandangan mendalam tentang ajaran Islam menolak formalisasi tersebut.
Pemikir dan sosiolog besar Muslim, Ibnu Khaldun (hidup di abad ke-8 H), pernah membicarakan soal penyatuan antara idealitas dan realitas dalam kehidupan politik Muslim. Baginya, praktik politik yang dilakukan Nabi Muhammad tidak pernah membenturkan antara idealisme agama dengan realitas kehidupan sosial masyarakat saat itu.
Ibnu Khaldun mencontohkan, sistem sosial ashabiyah (kesukuan) justru digunakan Nabi untuk mensukseskan misi dakwahnya. Nabi disebut menggunakan sistem dan struktur jaringan sosial kesukuan yang sudah ada saat itu untuk mengukuhkan negara Madinah dan mempersatukan penduduknya. Bukan dengan cara memusnahkan sistem sosial dan struktur masyarakat yang sudah ada saat itu.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan kelompok radikal dengan membentuk negara Khilafah justru kontra-produktif dengan masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural. Apalagi dalam praktik kenabian, Nabi Muhammad tak pernah sekalipun merusak tatanan sosial masyarakat yang sudah ada, bahkan justru memanfaatkannya.
Karena itu, ide khilafah atau negara syariah harus segera dibendung. Cara membendungnya tentu tidak dengan cara anarkis seperti yang dilakukan oleh kelompok radikal, melainkan dengan cara menyebarkan dan menguatkan pemahaman inklusif dalam beragama. Cara-cara bijak itulah yang pernah digunakan Nabi dan Ulama Indonesia saat merumuskan dasar negara.
Jika ada pihak yang menyebut NKRI sebagai “harga mati”, kita justru harus menyebutnya sebagai “harga hidup” yang mutlak untuk kita perjuangkan demi berlangsungnya kehidupan kita dan generasi penerus bangsa. Wallahu a’lam.