Kemerdekaan Digital; Sterilisasi Medsos dari Algoritma Kebencian dan Perpecahan

Kemerdekaan Digital; Sterilisasi Medsos dari Algoritma Kebencian dan Perpecahan

- in Narasi
18
0
Kemerdekaan Digital; Sterilisasi Medsos dari Algoritma Kebencian dan Perpecahan

Menjelang perayaan HUT RI ke-80, media sosial sempat diramaikan oleh fenomena pengibaran bendera bajak laut One Piece. Fenomena itu sempat menjadi trending-topic selama beberapa hari. Anehnya, di jalan-jalan kota sampai desa, merah putih tetap berkibar gagah.

Warga masih setia mengibarkan bendera merah putih di depan rumah. Nyaris tidak ada pemandangan pengibaran bendera bajak laut One Piece sebagaimana diamplifikasi di media sosial seolah-olah itu adalah fenomena nasional yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia.

Itulah bahaya media sosial. Satu kejadian yang parsial dan sporadis digambarkan seolah-olah terjadi secara masif. Pengibaran bendera One Piece oleh segelintir orang diresonansikan sedemikian rupa agar viral dan diikuti oleh individu lain. Bisa dikatakan, pengibaran bendera One Piece ini hanyalah trend FoMO yang akan hilang secara cepat seiring waktu.

Namun, fenomena viralnya polemik bendera One Piece ini membuktikan pentingnya ruang digital kita berdaulat. Kedaulatan digital bukan hanya dimaknai sebagai kondisi ketika ruang digital kita menjamin hak dan privasi individu, atau bebas dari hoaks dan misinformasi. Lebih dari itu, kedaulatan digital juga dimaknai sebagai kondisi ketika internet dan media sosial kita steril dari narasi kebencian dan perpecahan.

Media sosial itu merupakan cerminan dari realitas semu. Apa yang tersaji di dalamnya kerap tidak merepresentasikan kenyataan atau fakta yang sesungguhnya di lapangan. Fakta yang tersaji di media sosial kerapkali sudah mengalami manipulasi dan distorsi dengan tujuan mempengaruhi persepsi publik. Kejadian di satu tempat dinarasikan seolah-olah terjadi di seluruh negeri, seperti terjadi pad polemik bendera One Piece itu adalah contoh nyata bagaimana manipulasi dan distorsi fakta terjadi di media sosial.

Harus diakui bahwa dalam banyak hal, ruang digital kita belum sepenuhnya berdaulat. Buktinya, kelompok tertentu menggunakan medsos sebagai corong atau media propaganda kebencian dan kekerasan. Medsos dan internet selama ini kerap dibajak kaum radikal untuk menyebarkan narasi yang memicu perpecahan dan permusuhan.

Situasi ini menjadi alarm warning sekaligus wake up call untuk generasi muda milenial dan generasi Z. Wake up call bahwa perjuangan kita memerdekaan bangsa ini belum selesai. Jika para pejuang di era revolusi berperang melawan penjajah untuk meraih kemerdekaan dan kedaulatan bangsa, hari ini kita berjuang menegakkan kedaulatan digital.

Caranya adalah dengan memastikan ruang digital kita steril dari narasi pecah-belah dan kebencian. Sterilisasi ruang digital dari narasi kebencian dan permusuhan membutuhkan sebuah gerakan kolektif yang melibatkan pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, influencer, dan tentunya platform media sosial itu sendiri.

Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus tegas dalam mengatur regulasi terkait penyebaran informasi atau konten di media sosial. Harus ada regulasi yang secara tegas mengatur apa yang boleh dan tidak boleh disebar-luaskan di media sosial. Pemerintah tidak perlu ragu untuk men-takedown konten bernuansa kebencian dan kekerasan, bahkan memblokir akun-akun penyebar konten permusuhan di media sosial. Ketiadaan aturan yang jelas selama ini dimanfaatkan para penyebar narasi kebencian di media sosial dengan dalih demokrasi dan kebebasan berekspresi.

Para tokoh agama dan masyarakat hendaknya juga berkontribusi aktif menyebarkan pesan damai. Para tokoh agama dan masyarakat memiliki apa yang disebut modal sosial dan kultural untuk memobilisasi persepsi atau opini publik. Modal itu seharusnya dimaksimalkan untuk menngaungkan pesan-pesan nasionalisme dan kecintaan terhadap kearifan lokal Nusantara.

Tidak hanya itu, upaya menegakkan kedaulatan digital juga wajib melibatkan para influencer. Di era media sosial, kedudukan influencer dapat digambarkan dalam istilah cultural broker (pialang budaya). Para influencer memiliki otoritas untuk menjadi perantara informasi dari satu pihak ke pihak lain. Di era medsos, influencer adalah sosok idola sekaligus patron yang segala pemikiran dan ucapannya diikuti oleh publik.

Dengan melibatkan para influencer dalam perang melawan narasi kebencian dan kekerasan di medsos, kita patut optimis mampu membangun algoritma ruang digital yang mencerminkan prinsip toleransi dan moderasi. Membangun algoritma medsos yang steril dari narasi kebencian dan kekerasan merupakan jihad kebangsaan generasi sekarang.

Tema peringatan HUT RI ke-80, yakni “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” secara implisit mengandung pesan bahwa kemerdekaan itu bersifat multidimensi. Bukan hanya sekadar merdeka fisik, namun juga merdeka secara pikiran. Jangan sampai, pikiran kita tidak lagi otonom karena tersandera oleh paham intoleran-radikal yang menyebar di media digital.

Kemerdekaan secara fisik sudah kita raih. Namun, kemerdekaan mental dan pikiran kita ada dalam kondisi terancam saat ini. Lanskap keberagamaan di medsos yang didominasi narasi kebencian dan kekerasan menjadi semacam api dalam sekam yang jika dibiarkan akan membesar dan melahap semuanya. Sebelum itu terjadi, kita wajib mengeliminasinya sejak dini.

Facebook Comments