Kerahmatan Islam Membingkai Kebhinekaan

Kerahmatan Islam Membingkai Kebhinekaan

- in Keagamaan
3471
0

Bahwa Islam mengemban misi kerahmatan bagi sekalian alam, mayoritas muslim memahaminya. Allah Swt menegaskan: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Qs. al-Anbiya: 107). Khithab (obyek sasaran) kewajiban ayat ini memang spesifik Muhammad Saw, namun tentu saja titah mengemban misi kerahmatan tidak berlaku hanya baginya, melainkan juga bagi seluruh umat muslim yang mewarisi keteladanannya (Qs. al-Ahzab: 21).

Sebagai umat yang mengaku meneladaninya, tak elok rasanya kita mengabaikan nilai-nilai kerahmatan yang didengungkan Allah Swt melalui ayat-ayat-Nya dan oleh Muhammad Saw melalui sabda dan lelakunya. Juga malu rasanya, jika keberadaan kita sebagai umat muslim bukannya memberikan rahmat, melainkan justru menebarkan laknat bagi kehidupan bersama sebagai bangsa. Kehadiran Islam bukan untuk mengutuki melainkan untuk merahmati. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang shahabat bertanya: ‘Ya Rasulallah, berdoalah untuk kebinasaan orang-orang musyrik!” Rasulullah Saw menjawab: “Inni lam ub’ats la’anan wa innama bu’itstu rahmatan/Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai tukang laknat. Sesungguhnya aku diutus sebagai rahmat.” (HR. Muslim).

Pertanyaannya: dalam kontek berbangsa dan bernegara, di manakah posisi kerahmatan Islam? Pertama, Islam menghormati sekaligus menghargai kebebasan menganut kepercayaan. Dalam konteks Indonesia, enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu) resmi diakui oleh negara berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Kepercayaan lokal, jumlahnya lebih banyak lagi. Dan kerahmatan Islam berupa pengakuan pada kebebasan beragama ini telah diklarasikan jauh-jauh hari sebelum munculnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948.

Lihat saja, kita telah diwarisi doktrin yang luhur melalui ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.” (Qs. al-Baqarah: 256); “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” (Qs. al-Kafirun: 6); “Apakah engkau ingin memaksa mereka hingga mereka itu menjadi orang-orang yang beriman?” (Qs. Yunus: 99); “Dan Katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir. (Qs. al-Kahf: 29). Ayat-ayat ini demikian tegas mengakui perbedaan berkeyakinan.

Merespon ayat-ayat di atas, Fakhr al-Din al-Razi (Mafatih al-Ghaib: VII/15) menyatakan; Innahu ta’ala ma bana amr al-iman ‘ala al-ijbar wa al-qasr wa innama banahu ‘ala al-tamakkun wa al-ikhtiyar (Allah Swt tidak membangun keimanan di atas pemaksaan, melainkan menegakkannya di atas kekokohan dan kebebasan memilih). Baginya, pemaksaan hanya akan menghasilkan keberagamaan yang rapuh dan mudah goyah; dan ini bukanlah sejatinya keberagamaan, bahkan ini buthlan alias batal.

  1. Husein al-Thabathaba’i (al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an: II/348) menjelaskan, ajaran la ikraha fi al-din menganulir tudingan bahwa Islam disebarkan dengan pedang dan darah (qama bi al-saif wa al-dam). Baginya, perang hanyalah pembelaan (al-difa’), bukan cara penyebaran Islam. Inilah ayat yang disebutnya sebagai nafy al-din al-ijbari/menafikan agama yang memaksa (II/347). Dan ayat-ayat di atas, menurut Wahbah al-Zuhaili (al-Tafsir al-Munir: II/23), adalah ayat yang dengan tegas mendorong pengakuan hurriyah al-tadayyun (kebebasan beragama).

Bagi M. Quraish Shihab (Tafsir al-Mishbah: I/668-669), Allah Swt tidak membutuhkan apapun dari hamba-hamba-Nya, sehingga tidak perlu ada pemaksaan dalam beragama. Jika menghendaki, maka sesungguhnya dengan gampang Allah Swt bisa menjadikan kita semua sebagai umat yang satu (Qs. al-Ma’idah: 48). Sayyid Quthb (Tafsir fi Dhilal al-Qur’an: I/343) menjelaskan, akidah itu masalah kerelaan hati, bukan pemaksaan dan tekanan. Dan Islamlah yang menjelaskan ketidakbolehan memaksa orang lain untuk memeluk agama ini.

Kedua, Islam menghormati sekaligus menghargai keragaman suku-bangsa. Islam tidak pernah sedikitpun berfikir menafikan keragaman dan kekayaan budaya di daerah manapun Islam dianut. Islam menyadari, keragaman adalah sunnatullah yang tidak mungkin dinafikan oleh siapapun. Menafikannya, sama halnya menafikan takdir Allah Swt. Islam hadir, karenanya, sama sekali bukan untuk menyatukan seluruh umat menjadi satu agama, satu etnis, satu suku, atau satu budaya. Dengan kun fayakun-Nya, Allah Swt sangat mudah melakukan semua ini. Namun yakinlah, Allah Swt tidak akan melakukannya (Qs. al-Ma’idah: 48).

Penghargaan pada keragaman, juga demikian nyata disebutkan dalam al-Qur’an. Allah Swt berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. al-Hujurat: 13). Ukuran kemuliaan bukan terletak pada agama, etnisitas, kesukuan atau kebangsaan, melainkan semata ketakwaan dan kedekatan pada-Nya. Juga, tentu saja, diukur dari kemanfaatan bagi semua kalangan. Itu sebabnya, bagi Muhammad Saw, tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non-Arab (‘ajam), kulit putih dan kulit hitam, berambut lurus dan keriting, juga berambut hitam dan pirang. Perbedaan, sekali lagi, hanya terletak pada kadar ketakwaan.

Ketiga, Islam menghormati, menghargai sekaligus melestarikan kearifan lokal selama hal itu positif. Inilah yang dalam tradisi ushul fikih disebut al-‘urf al-shahih (tradisi lokal yang baik), yang keberadaannya justru kian memperkaya khazanah Islam. Tak bisa dibayangkan, andaikan kehadiran Islam mengggulung dan membumihanguskan kearifan lokal, barangkali Wali Songo tidak akan mencapai kesuksesan dakwah yang demikian gemilang. Bangsa inipun tidak akan mudah menerima agama Islam yang justru mendekonstruksi total identitas lokalnya. Karena itu, semestinya dibedakan dengan klir antara Islam sebagai substansi dengan keislaman sebagai perilaku umatnya. Islam lebih menekankan substansi yang tidak berubah ketimbang bungkus yang senantiasa berubah sesuai konteks lokalnya. Masih banyak lagi, sesungguhnya, ajaran Islam yang mendukung kehidupan berbangsa.

Dus, kerahmatan Islam telah ditegaskan di banyak kesempatan, baik melalui firman Allah Swt maupun sabda-perilaku Rasulullah Saw. Jika demikian adanya, sudah semestinya kita sebagai umatnya mengedepankan kerahmatan sebagai basis keberislaman yang luhur. Apalagi dalam konteks berbangsa dan bernegara di negeri Pancasila ini, tentu saja menafikan keragaman mustahil dilakukan. Karena itu, kerahmatan Islam semestinya mengayomi kebhinekaan yang begitu mengagumkan. Inilah kekayaan sesungguhnya, yang tidak dimiliki bangsa lain. Yakinlah, Indonesia akan tegak dan berdiri kokoh hanya dengan penghormatan setulus-tulusnya pada keragaman yang telah menjadi identitas dan mengakar ratusan tahun silam. Dan, sungguh, inilah substansi Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam! Sesuai belaka dengan konsep leluhur bangsa ini: Bhinneka Tunggal Ika.

*) Disampaikan pada Pesantren Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Remaja Masjid Lebak (FKRML) di Masjid Agung al-A’raf Lebak, Ahad, 26 Juni 2016.

Facebook Comments