Belas kasih manusia terhadap manusia lainnya dapat diwujudkan denganberbagai cara, seperti kesadaran untuk melakukan sesuatu, membagikan sesuatu, dll. Bekerja untuk berbagi kasih dan sayang dapat dilakukan dengan berbagai hal. Dari jenis perilaku belas kasih manusia, muncul istilah filantropi yang diyakini sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan belas kasih tersebut.
Filantropi berasal dari bahasa Yunani; phileini, berarti cinta, dan anthropos yang berarti manusia. Dalam makna utuhnya, filantropi adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia, menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.
Filantropi Islam yang bisa juga disebut kedermawanan atau cinta kasih bukan hal yang baru dalam sejarah Islam. Masalah filantropi menjadi salah satu bagian penting dari ajaran atau doktrin Islam, yang diterima Nabi Muhammad SAW sejak lima belas abad lalu. Banyak ayat Al-Quran maupun Al-Hadits yang menegaskan pentingnya berderma kepada sesama manusia.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Attaubah 9: 103).
Cinta kasih sesama manusia atau filantropi Islam merupakan salah satu bentuk ajaran Islam tentang kepedulian dan keadilan sosial kepada sesama manusia. Islam mengajarkan kepada manusia untuk mencintai sesamanya agar tidak menjadi pendusta. Para pendusta adalah orang-orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap anak yatim, orang fakir-miskin, dan kaum duafa lainnya. Hal tersebut jelas dinyatakan dalam Alquran.
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, (yaitu) orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan barang berguna.” (QS Al-Mâ’ûn, 107: 1-7)
Pertanyaan dan permasalahan muncul ketika filantropi Islam itu digunakan sebaliknya, yakni untuk hal-hal yang malah menyalahi nilai-nilai kemanusiaan. Sumbangan uang, tenaga dan barang itu diperuntukkan bagi kekerasan, misalnya terorisme. Kasus terakhir pengeboman di Turki menjadi contoh bagaimana kekerasan itu dilakukan di wilayah damai, tentu dengan persediaan dana yang cukup. Maka hal ini menurut saya adalah sebuah filantropi yang salah.
Karenanya tindakan menyumbang seperti di atas tidak bisa dimasukkan dalam kategori filantropi. Sumbangan dalam konteks filantropi tidak boleh diberikan untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap manusia lainnya, sungguh ini sebuah cara yang salah.
Islam mengajarkan unutk menjaga kebutuhan penting kaum muslimin dalam lima hal; dharûriyyâtul-khams. Pertama, Penjagaan Islam terhadap agama (din). Kedua, Penjagaan islam terhadap Jiwa (hifzhun nafsi). Ketiga, Penjagaan Islam terhadap akal (hifzhul Aql). Keempat, Penjagaan islam terhadap harta (hifzhul Mal ). Kelima, Penjagaan islam terhadap nasab (keturunan). Dan dalam masalah ini, Alquran dan Sunnah telah memberikan perhatian yang besar. Saya tidak bermaksud menerangkan semuanya, namun ada kaitan bahwa menjaga jiwa adalah penting.
Lima hal di atas yang perlu dilakukan oleh sesama muslim dan umat lainnya adalah menjaga Jiwa. Jiwa manusia patut dijaga dengan baik. Menjaga jiwa manusia adalah ajaran agama Islam, maka ketika dana filantropi itu digunakan untuk kekerasan dan menghilangkan jiwa seseorang, itu sama saja dengan menghianati ajaran agama Islam yang mengajarkan kasih sayang dan cinta kasih sesama manusia. Islam yang mengajarkan untuk menjaga jiwa sesama manusia.
Saat ini, di bulan Ramadhan yang baik ini, bagi umat Islam yang ingin mengeluarkan zakat, infak, sedekah, wakaf, bisa meluruskan niat bahwa apa yang dikeluarkan benar-benar untuk kebaikan. Apa yang dikeluarkan benar-benar dengan niatan melaksanakan perintah Allah, kasih sayang, cinta kasih, keadilan sosial, humanisme, dan kebhinnekaan untuk kebaikan seluruh masyarakat Indonesia.