Presiden Suriah Bashar al-Assad berhasil digulingkan oleh kelompok oposisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Dari situ mulai bermunculan narasi sesat dan menyesatkan di Indonesia. Menganggap, kemenangan HTS adalah bentuk keberhasilan jihad kebangkitan khilafah. Seolah, HTS adalah representasi dalam memperjuangkan hukum Islam sebagai hukum negara yang harus dijadikan inspirasi di Indonesia.
Kemenangan HTS di Suriah bukanlah kemenangan Islam, tetapi kemenangan kelompok teroris (bughat) dengan kepentingan politis untuk (berkuasa). Jika kita gambarkan, HTS ini pada dasarnya tak jauh berbeda dengan faksi politik yang ada di Palestina seperti Hamas, al-Fatah dan HT (Hizbut Tahrir) yang sama-sama punya kepentingan politik di balik perjuangan kemerdekaan Palestina. Mengapa demikian? Sebab, sejak dulu Suriah telah menjadi ladang perebutan kekuasaan oleh banyak pihak, baik global, regional atau-pun kekuatan lokal.
Sebagaimana kini, HTS pasang badan. Seolah lahir sebagai penyelamat Suriah lalu melupakan “kelabu hitam” dengan segala kesesatannya. Bahwa mereka (HTS) sebetulnya pernah berada di akar tujuan yang sama dengan teroris ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) dan teroris Al-Qaeda. Meskipun HTS menyatakan keluar dari komplotan dua kelompok teroris itu, tetapi beginilah sebuah drama yang dimainkan kelompok politis yang ingin dipandang “baik” padahal sebenarnya mereka jahat.
Tidak ada Kebenaran Islam yang Membenarkan Pemberontakan (Bughat)
Di Indonesia, kita jangan mudah terjebak oleh kesesatan sebuah propaganda bahwa kemenangan HTS adalah bukti kemenangan Islam. Lalu, terjebak ke dalam propaganda menegakkan khilafah dengan melakukan pembangkangan dan pemberontakan atas pemerintahan yang sah di Indonesia. Sebab tidak ada kebenaran Islam yang melegalkan atau membenarkan sebuah perilaku pembangkangan atau pemberontakan atas pemerintah yang sah.
Dalam Al-Qur’an sendiri, kita harus memerangi perilaku pemberontakan. Seperti dalam (Qs. Al-Hujurat:9) “Dan jika ada dua golongan mukmin bersengketa, maka damaikanlah di antara mereka. Namun jika salah satunya memberontak, terhadap kelompok lainnya, maka perangilah pemberontak tersebut”.
Dalam kasus pemberontakan yang dilakukan HTS di Suriah. Ini sebetulnya sebagai fakta konflik global yang harus dibebaskan oleh berbagai kepentingan politis di Indonesia. Yakni, bagaimana kita jangan terpengaruh dengan berbagai narasi kebangkitan khilafah pasca kemenangan HTS di Suriah. Sebab, hal yang paling fundamental bagi kita saat ini, adalah bagaimana menjamin kehidupan berbangsa kita tetap terjaga kemaslahatannya, karena ini sebagai bagian dari perintah di dalam Islam dalam melahirkan semangat baldatun tayyibatun warabun ghafur.
Perceraian HTS, Al-Qaeda dan ISIS adalah Bukti Kerapuhan dari Semangat Tegaknya Negara Islam/Khilafah
Cobalah pahami. Hayat Tahrir al-Sham (HTS) ini asalnya satu komplotan dengan kelompok teroris Al-Qaeda dan ISIS. Lalu mereka berpisah dan memutuskan berada di jalur yang berbeda-beda karena cara pandang yang berbeda dalam memahami semangat menegakkan hukum Islam itu. Dari sini saja kita bisa memahami, bahwa semangat menegakkan negara Islam/Khilafah itu pada dasarnya begitu rapuh, tak ada sistem yang baku (konsistensi) prinsip yang utuh, komprehensif dan bahkan tak konsisten dalam meneguhkan kebenarannya.
Secara subtansial, apa yang mereka sebut menerapkan hukum Islam tak lebih mengacu kepada egoisme politik untuk berkuasa. Bahkan, cenderung reduksionis atas kemaslahatan bangsa yang mapan di tengah kemajemukan. Ini sebetulnya adalah fakta-fakta kegelapan dari semangat kebangkitan khilafah yang sangat tak didinginkan. Jadi, harapan menegakkan khilafah atau negara Islam pasca kemenangan HTS sebagai bentuk kesesatan yang nyata untuk kita tinggalkan.