Euforia kemenangan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) Atas Rezim Bashar Al-Assad di Suriah telah membuka ruang bagi munculnya berbagai kelompok dan ideologi transnasional yang menjadikan wilayah ini sebagai pusat ekspansi ideologi radikal dan perpecahan politik. Sejak konflik dimulai pada tahun 2011, Suriah telah menjadi arena bagi berbagai kepentingan global yang memperparah fragmentasi sosial, ekonomi, dan politik di kawasan tersebut. Kondisi ini menciptakan peluang bagi kebangkitan ideologi transnasional, terutama ideologi ekstremis yang melintasi batas negara dan menyebar ke seluruh dunia.
Ideologi transnasional ini memanfaatkan ketidakstabilan politik dan kekosongan kekuasaan di Suriah untuk merekrut pengikut dan memperluas pengaruhnya. Kebangkitan ini bukan hanya ancaman bagi stabilitas regional, tetapi juga menimbulkan risiko serius bagi keamanan internasional, termasuk bagi negara-negara seperti Indonesia, yang memiliki populasi besar umat Muslim yang berpotensi menjadi target doktrinasi dan radikalisasi.
Salah satu manifestasi paling jelas dari ideologi transnasional di Suriah adalah kehadiran kelompok seperti ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang menyatakan diri sebagai kekhalifahan global pada tahun 2014. ISIS berhasil menarik ribuan pejuang asing dari berbagai negara melalui propaganda online yang canggih dan narasi ideologis yang menggiurkan bagi individu-individu yang merasa teralienasi atau termarjinalisasi di negara asal mereka.
Dengan menjadikan Suriah sebagai basis operasional, ISIS menyebarkan visinya tentang kekuasaan transnasional, memanfaatkan konflik sektarian yang ada, serta membangun jaringan logistik, keuangan, dan rekrutmen yang terintegrasi di seluruh dunia. Ideologi yang mereka sebarkan tidak hanya mengakar di Timur Tengah, tetapi juga meluas hingga Asia Tenggara, Eropa, dan Afrika. Indonesia, misalnya, menghadapi tantangan serius dari simpatisan ISIS yang kembali dari Suriah serta jaringan-jaringan lokal kelompok ISIS.
Bagi Indonesia, ancaman kebangkitan ideologi transnasional ini sangat nyata. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi target potensial bagi kelompok-kelompok yang berusaha menyebarkan ideologi ekstremis mereka. Tidak sedikit warga Indonesia yang telah berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok-kelompok seperti ISIS, dan sebagian dari mereka kini telah kembali ke tanah air, membawa serta pengalaman dan ideologi yang mereka serap di medan perang. Hal ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional untuk memastikan bahwa individu-individu ini tidak menjadi ancaman bagi keamanan nasional kita di Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus terus mengambil langkah-langkah untuk menangani ancaman ini, termasuk melalui program deradikalisasi dan pengawasan terhadap individu yang terindikasi terpapar ideologi ekstremis. Namun, tantangan yang dihadapi sangat kompleks, terutama karena penyebaran ideologi transnasional sering kali melibatkan jaringan yang tidak terlihat dan sulit dilacak. Selain itu, pendekatan yang hanya berfokus pada aspek keamanan tanpa menangani akar penyebab radikalisasi, seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, dan kurangnya pendidikan, tidak akan cukup untuk mengatasi masalah ini secara efektif.
Pendekatan yang holistik dan terkoordinasi diperlukan untuk menangani masalah ini, termasuk melalui penghentian aliran dana dan senjata kepada kelompok ekstremis, penguatan kerangka hukum internasional untuk menangani pejuang asing, dan dukungan terhadap proses perdamaian di Suriah. Komunitas internasional juga perlu lebih serius dalam menangani dimensi kemanusiaan dari konflik ini, termasuk melalui penyediaan bantuan bagi para pengungsi dan pengembangan strategi jangka panjang untuk rekonstruksi Suriah pasca-konflik.