Tindakan zhalim yang melanggar kemanusiaan bernama bom bunuh diri itu selalu membawa dalih pembenar dengan memanfaatkan potongan ayat (Qs. At-Taubah:29). Hal ini juga berlaku terhadap pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar yang datang mengendarai sepeda motor dengan 1 lembar kertas di tempel di depan dengan tulisan “KUHP HUKUM Syirik/kafir Perangi Para Penegak Hukum Setan Qs.9:29”.
Lantas, apa maksud dari perintah “perangi” terkait kebenaran QS. At-Taubah:29 itu? Cobalah kita pahami: “Perangi-lah orang-orang yang (tidak beriman kepada Allah dan hari akhir), tidak mengharamkan (menjauhi) apa yang telah diharamkan (oleh) Allah dan Rasul-Nya dan tidak mengikuti agama yang hak (Islam) yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab (Yahudi dan Nasrani) hingga mereka membayar Jjizyah dengan patuh dan tunduk”.
Kalau ditelusuri secara mendalam, ayat Al-Qur’an di atas sebetulnya berkaitan dengan situasi-kondisi peperangan yang terjadi pada era 630 M/9 H. Peperangan ini bukan berbasis (memerangi) melainkan dalam kondisi darurat (ingin diperangi). Karena pasukan Romawi tengah mempersiapkan diri untuk merampas daerah perbatasan yang telah dikuasai umat Islam.
Namun, setelah Nabi Muhammad SAW dengan pasukannya sampai di daerah Tabuk, tampaknya Pasukan Romawi memilih untuk mundur dan kembali ke daerah pedalaman. Dari sinilah para Ahli Kitab meminta untuk berdamai dan menyerahkan (Jizyah). Kenyataan yang semacam ini justru para Ahli Kitab melanggar segala bentuk perjanjian yang ada, merusak ajaran agama-Nya dengan kepentingan-kepentingan peribadi yang ada dalam Taurat dan Injil. Serta, mereka telah meniscayakan permusuhan dan sangat mengancam keselamatan umat Islam.
Artinya apa? ini adalah kebenaran etis bahwa umat Islam dalam bentang sejarah peperangan yang dilakukan itu, pada dasarnya demi untuk (membela diri) karena ingin diperangi, mempertahankan diri karena ingin diperangi dan ingin diusir dari tanah airnya. Islam tidak pernah membenarkan tindakan memerangi apalagi perilaku kezhaliman layaknya bom bunuh diri mengatasnamakan perintah selalu memiliki patokan dalil pembenar atas perbuatannya yang mengacu ke dalam potongan ayat (QS. At-Taubah:29).
Nabi Muhammad SAW pada saat itu menegaskan jika Ahli Kitab kembali memeluk Islam maka dia hanya dijelaskan telah kembali ke jalan yang benar. Karena ini adalah kebenaran Islam tanpa paksaan terhadap siapa-pun dalam memeluk agama. Selain itu, ada sebuah ketegasan terkait Ahlil Kitab jika tunduk atas kekuasaan umat Islam, maka diperintahkan untuk membayar (Jizyah). Hal ini-pun Nabi sangat menjunjung nilai kemanusiaan karena pembayaran (Jizyah) tidak berlaku terhadap mereka yang miskin dan para pendeta.
Tentu, mengakui kekuasaan umat Islam yang dimaksud bukan berarti bersifat diskriminatif dan bertindak zhalim. Islam sama-sekali tidak membenarkan tindakan yang semacam itu. Lalu, umat Islam memiliki sebuah aturan atau kewajiban untuk menjamin hak-hak keseluruhan dari mereka. Umat Islam akan membela mereka, umat Islam akan memberikan hal mereka secara sosial, kemanusiaan dan hak dalam beragama. Bahkan memperlakukan mereka secara adil dan penuh dengan persamaan hak.
Ini adalah fakta yang harus kita sadari bahwa ayat (QS. At-Taubah:29) tidak memiliki basis pengertian untuk memerangi apalagi melakukan tindakan bom bunuh diri mengatasnamakan dalil tersebut. Ini mutlak sebagai pemahaman yang sesat dan perilaku zhalim yang sama-sekali bertentangan dengan situasi-kondisi ayat itu turun. Sebab, Islam memiliki kewajiban untuk melindungi (non-Islam) yang tidak memerangi umat Islam sendiri.
Dari sinilah kita harus sadar bahwa perilaku bom bunuh diri itu mutlak tidak dibenarkan. Bahkan, sangat relevan jika saya katakan, bahwa potongan (QS. At-Taubah:29) sebetulnya memerintahkan umat Islam memerangi kelompok teroris dan para bom bunuh diri itu. Tidak ada ajaran Islam yang memerintah untuk memerangi non-Muslim yang berada dalam (kewajiban) umat Islam melindungi hak-hak mereka yang berada dalam status (kafir zimmi) yaitu orang-orang yang tidak memerangi umat Islam.