Lamun kalbu wus tamtu
Anungku mikani kang amengku
Rumambating eneng ening awas eling
Ngruwat serenging rerengu
Urubmu kedhap ing panon
—Heru Harjo Hutomo
Dalam kebudayaan Jawa dikenal banyak istilah yang sekilas adalah hal-hal yang tak sesuai dengan logika ilmiah—yang tentu saja sangat diagung-agungkan oleh kalangan yang memandang tradisi sebagai sebentuk kekunoan. Beberapa istilah itu adalah “wijining atapa tedhaking andana warih,” “putune Mbahe” atau “titisaning Mbahe.”
Tentu saja istilah-istilah itu seolah berseberangan dengan prinsip-prinsip ataupun pandangan-pandangan yang bahkan menjadi elan vital kecenderungan beragama tertentu, taruhlah kecenderungan beragama untuk menempatkan manusia secara sama. Kecenderungan beragama semacam itu memang seturut dengan “episteme” zaman yang memang menghendaki nilai-nilai demokratis yang mesti mengendapi segenap bidang kehidupan.
Namun, kesetaraan itu pada praktiknya tak pernah berjalan secara tetap. Dan itulah yang konon menyebabkan banyak pemikir kontemporer meragukan universalitas sistem demokrasi yang ternyata hanya merepresentasikan orang-orang berkulit “putih,” yang tinggal di belahan Bumi “Barat,” dan secara ekonomis di belahan Bumi “Utara.”
Dengan kata lain, ternyata klaim ilmiah hanyalah sekedar klaim yang berfungsi sebagai topeng untuk memperadabkan, atau secara kasar “menjajah,” orang-orang yang bukan merupakan golongan mereka yang terkesan enak untuk “dimakan.” Di sinilah lantas ilmu pengetahuan tak pula mudah lepas dari kapitalisme yang menjadi tahapan bagi imperialisme dan kolonialisme.
Namun, klaim ilmiah pun ternyata digugurkan juga oleh klaim ilmiah yang lebih terkini. Lewat ilmu genetika ternyata gen para leluhur menitis atau menurun pada anak keturunannya. Tak sekedar karakter, penyakit dan informasi (ilmu pengetahuan) yang pernah mereka terima menitis pula pada anak keturunannya.
Dalam konsep dan praktik Islam-Jawa, mulai dengan tradisi kecil untuk mengirim Fatihah pada leluhur, peling atau khol hingga ziarah (yang merupakan “ilmu sejarah” sebagai kata kerja), merupakan sebentuk metode pendidikan kepribadian untuk bagaimana berkehidupan. Tradisi-tradisi itu dapat disarikan dalam sepenggal istilah yang lekat dengan pagelaran wayang di masa silam, “Ma-Hyang,” atau menuju pada “Hyang,” yang selain bermakna leluhur juga bermakna Tuhan.
Dengan konsep-konsep dan praktik-praktik tradisional yang lekat dengan “sejarah” itu diharapkan orang, dengan mengenal para leluhur atau orang-orang yang bersangkutan dengannya di masa silam, akan pula mengenal dirinya sendiri. Jadi, taruhlah untuk menjadi pribadi yang intoleran, ketika mengenal bahwa leluhurnya adalah Walisongo, secara moral potensi intoleransi yang barangkali dimiliki akan tak gampang untuk terbentuk.
Terang, siapa pun memiliki potensi untuk bersikap intoleran dan sistem moral memang terkait erat dengan nurani yang konon tak pernah bisa bohong. Dengan demikian, pada dasarnya setiap pribadi memiliki mekanisme tersendiri untuk belajar dan mendapatkan pelajaran. Metode-metode pendidikan, baik yang berangkat dari kearifan tradisi ataupun yang merupakan produk modernitas, hanyalah semacam tang atau kunci inggris dimana suatu kotak sama sekali tak tergantung padanya untuk terbuka ataupun tertutup.