Politik mungkin adalah hal baru bagi masyarakat desa. Sehingga kemunculan bagi beberapa dianggap meresahkan dan ada yang menganggap hal tersebut merupakan jalan hidup baru yang harus mereka tempuh dalam memainkan peran untuk keluarga, desa dan bangsanya.
Namun karena masih polos, mereka meyakini bahwa politik seperti agama, apalagi kita tahu, bahwa politik di Indonesia sekarang tidak jauh-jauh dari identitas agama. Masyarakat awam hampir tidak bisa membedakan mana alasan politis atau alasan yang benar-benar agamis. Akibatnya mereka terjebak dalam kefanatikan.
Akibatnya dari dua kubu tersebut, kubu yang tidak peduli pada politik dan kubu yang peduli politik muncul sebuah jarak dan sekat, yang awalnya ketika tidak mengenal politik mereka adalah bagaikan bangunan kokoh yang telah direkatkan oleh norma dan budaya. Bahkan, di antara sesama individu yang sama-sama peduli politik, timbul semacam pandangan sinis karena mereka berbeda dalam memilih jalan.
Faktor utama dari gejalan ini adalah ketidakdewasaan, ketidaksadaran dan berkerungnya keimanan. Mereka belum dewasa dalam menyikapi perbedaan, mungkin karena mereka dulunya adalah sebuah tatanan yang dikokohkan oleh kesatuan dan persamaan. Sehingga muncul perbedaan menjadi hal yang tabu bagi mereka. Mereka tidak sadar bahwa yang lebih penting dari politik adalah kebersamaan antara keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar.
Ironi Perebutan Jabatan dan Pentingnya Sebuah Iman
Ketika mendekati hari pemilihan dan pemungutan suara, politikus-politikus lebih gencar lagi mengampanyekan kebaikan-kebaikan dan program-program dari calon yang mereka dukung. Sebanarnya kalau kita mau dewasa dan netral, maka kita bisa menilai dengan jernih, program mana yang urgent, yang bagus dan program Impian yang sulit dilaksanakan.
Kalau mau melihat semua program dari masing-masing calon, kita pasti melihat ada hal-hal baik di dalam setiap calon dan pasti juga melihat kekurangan masing-masing. Dengan berfikir jernih, kita bisa sadar bahwa siapa pun calon yang kita dukung nanti akan mempunyai kekurangan.
Ironisnya, yang berebut adalah calon pemangku jabatan, namun yang ribut adalah kalangan bawah, yang bahkan tidak dikenal oleh para calon. Tragisnya para calon pemangku jabatan mungkin hanya bertaruh uang yang bagi mereka mungkin terbilang sedikit, namun para pendukung ini bertaruh nyawa demi orang yang tidak ia kenal. Maka ini perlu kedewasaan dan kesadaran.
Ironi semacam ini terjadi karena keimanan seseorang berkurang. Karena Pancasila tidak diamalkan. Kenapa dikatakan berkurang?
Anggap saja yang kita dukung adalah orang yang benar-benar baik dan tanpa cacat. Kemudian lawannya adalah orang yang sangat buruk. Jadi kita berfikir jika orang yang kita dukung ini tidak memenangkan pemilihan umum ini, kita yakin akan banyak musibah terjadi. Apakah dengan berdasarkan keyakinan seperti itu kita boleh merusak?
Jika kita beriman kita akan berfikir ulang, jika orang yang sangat buruk itu menjadi pemimpin, kita tidak boleh berputus asa, sebab orang yang beriman mempunyai kepercayaan pada Tuhan. Tuhan mempunyai cara-cara ajaib dalam menjaga dunia dan kehidupan kita. Tugas kita adalah berjuang dengan cara baik dan berdoa. Bisa saja orang buruk bertaubat, mendapat hidayah kemudian berbuat baik untuk masyarakat kita.
Jika kita berbuat onar atau berbuat buruk dengan dalih bahwa yang kita dukung adalah orang baik dan yang lawannya adalah orang buruk, maka itu merugikan orang yang kita dukung. Sebab keonaran yang kita buat menjadi noda bagi calon yang kita dukung. Dilihat dari segi manapun berbuat baik tidak dibenarkan? Sedangkan para calon yang maju, tidak ada yang benar-benar 100 persen baik dan 100 buruk. Lalu apa yang harus diperjuangkan sampai bertaruh nyawa.
Kita sudah lupa tentang sila-sila di Pancasila dan masih mengaku berjuang demi Indonesia?