Ketika Agama Bersilangsengkarut dengan Kuasa

Ketika Agama Bersilangsengkarut dengan Kuasa

- in Narasi
118
0
Ketika Agama Bersilangsengkarut dengan Kuasa

Dahulu sepertinya zaman memang menyediakan dunia-dunia yang masih bisa berdiri sendiri. Taruhlah dalam dunia pesantren yang, ketika orang ingin memperdalam ilmu tarekat, ia tahu akan belajar ke pesantren mana. Ataupun ketika orang itu ingin memperdalam ilmu-ilmu kejadugan, ia pun sudah tahu akan pergi ke pesantren mana. Dan dalam kekhususan masing-masing itu, seolah-olah orang saling paham bahwa dunia yang tengah mereka jalani itu memiliki aturan main yang khas atau berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

Demikian pula dalam dunia-dunia non-keagamaan, orang juga sudah cukup paham bahwa dunia seni rupa, yang biasanya pada tingkat sekolah tinggi memiliki jurusan ataupun fakultas yang berdiri sendiri, bukanlah dunia sastra yang lazimnya justru sama sekali tak ada kaitannya dengan sekolah seni.

Namun, ketika dunia-dunia itu kini seperti berbaur tanpa batas-batas yang tegas terdapat berberapa fenomena yang cukup menyentak di ranah publik: kekonyolan, kemarahan, dan barangkali juga kebingungan. Tentu orang masih ingat pilpres 2024 yang berlangsung beberapa waktu yang lalu, dimana dunia sufi yang dianggap sakral seolah bersinggungan secara murah dengan dunia politik praktis yang konon bersifat profan.

“Nabi Muhammad dalam mimpi,” “Nabi Khidhir,” “Malaikat Jibril,” dan “Imam Mahdi,” merupakan beberapa ungkapan yang sudah melewati batas-batas tradisionalnya, yang pada waktu itu kesemuanya disematkan pada capres tertentu. Akan cukup tak berasa ketika capres-capres yang disesaki dengan narasi-narasi sufistik itu menang. Namun, fakta menyatakan bahwa mereka ternyata kalah.

Yang terkini, yang barangkali juga menyingkapkan fenomena persinggungan yang selama ini tak lazim bagi nalar-nalar tradisional, keputusan PBNU untuk menerima konsesi tambang dari pemerintah. Bagaimana mungkin para agamawan yang terbiasa dengan kehidupan sakral akan mengolah tambang yang lekat dengan citra profannya?

Pada dasarnya, ketika orang paham akan lajunya waktu, yang bagi orang Jawa dikenal sebagai “jangka,” orang tak perlu menyikapi fenomena-fenomena persinggungan itu secara berlebihan. Pada hari ini orang memang tak bisa mengelak dari “gelombang keawaman” yang membuat para outsiders dapat menilai bahkan menghakimi para insiders.

Keawaman semacam itu dapat melanda siapa pun karena memang dunia-dunia di hari ini berjalan dengan bersilangsengkarut tanpa adanya batas yang kokoh seperti di masa lalu. Jelas, teknologi adalah satu hal yang cukup melumatkan batas-batas tersebut. Dan sebenarnya, laju teknologi tak juga bersifat negatif.

Dalam beberapa hal, teknologi yang cukup mengubah wajah zaman itu menyingkapkan pula kearifan yang lain. Teknologi, dimana logikanya terbukti turut pula membentuk realitas, seakan menjernihkan apa yang dalam dunia tasawuf dikenal sebagai konsep “wahdat al-wujud” yang konon adalah sebentuk tauhid yang direngkuh pula dengan ikhtiar nalar. Meleburnya yang sakral dengan yang profan, agama dengan yang non-agama (politik, ekonomi, dsb), atau lebih tepatnya ulama dengan umara, adalah memang kejadian yang tak dapat dihindari di hari ini.

Ada sebuah kearifan dari kaum malamatiyah tentang upaya pelurusan kekuasaan dengan jalan kekuasaan itu sendiri. Pada dasarnya, agama dan ulama akan lebih efektif perannya ketika mereka menjadi pula bagian dari kuasa atau menjadi umara. Jadi, meleburnya batas-batas tradisional itu bukanlah peristiwa yang mesti disikapi secara berlebihan. Bukankah dari dulu, dengan berkaca pada sejarah Walisongo, agama juga membutuhkan kecerdikan bahkan untuk sekedar tumbuh dan berkembang sampai sejauh ini? Bukankah awal-mula pesantren adalah kisah konsesi tanah dari para raja Jawa?

Facebook Comments