Ketika Teroris Menjadi Pahlawan

Ketika Teroris Menjadi Pahlawan

- in Narasi
1685
0
photo by: damailahindonesiaku.com

Di Indonesia telah banyak terjadi kasus terorisme. Para teroris telah melakukan bom bunuh diri, menyerang warga sipil, dan menyebar teror pada masyarakat. Penyerangan mereka sangat sporadik, yang menjadi korban adalah warga sipil, baik wanita maupun anak-anak. Tentu tindakan seperti itu tidak ada unsur heroiknya, namun oleh sebagian golongan aksi teror tersebut dianggap sebagai tindakan jihad. Mereka menukil ayat-ayat untuk melegitimasi dan membenarkan tindakan teror mereka.

Dalam hal ini, ada distorsi makna atas kata terorisme. Ada wacana yang menggiring pada pemahaman bahwa tindakan terorisme adalah suatu bentuk kepahlawanan. Dengan hegomoni wacana tersebut, orang akan percaya bahwa teroris adalah seorang pahlawan. Mereka menggelincirkan, menutupi dan menggantikam realitas yang ada dengan realitas semu. Namun celakannya, realitas semu itu dinyakini sebagai yang nyata, bahkan dianggap lebih nyata dari yang nyata (hiperrealitas). Dalam hiperealitas inilah fakta berbalut dusta dan nyata berselingkuh maya.

Makna tidak muncul dengan sendirinya, namun dikonstruksi dan direproduksi. Dalam kasus jenasah terduga teroris juga terdapat konstruksi makna dan realitas semu. Di sini ada pembentukan makna bahwa teroris adalah pahwalan, yakni dengan menyematkan tanda-tanda kesyahidan kepada jenazah. Jenazah diindentifikasi dengan tersenyum, berkeringat, dan berbau wangi. Tanda syuhada tersebut disematkan pada jenazah teroris dan memunculkan makna baru atas realitas yang ada. Sehingga, makna real terdistorsi kedalam makna semu, yang menggiring pemahaman bahwa tindakan terorisme adalah tindakan kepahlawanan atas dasar kebenaran dan berpahala surga. Makna bentukan tersebut menegasi kebenaran bahwa baik buruknya seseorang ditentukan oleh apa yang dilakukan tubuhnya kala hidup, bukan seperti apa tubuhnya di saat mati.

Citra yang dibentuk bahwa teroris adalah pahlawan, dalam istilahnya Baudrillard, telah menjadi simulacra. Seperti sebuah simulasi namun tanpa realitas, laksana peta namun tanpa rujukan teritori. Sayangnya, realitas semu tersebut membentuk panggung makna yang menjerat penonton, maka sang penonton akan masuk ke dalam kondisi schizophrenia, ia tidak bisa membedakan lagi mana hakiki dan mana yang fantasi. Sehingga, sang pelaku bom bunih diri dianggap sebagai ‘pengantin’, yang percaya nantinya setelah mati akan masuk surga dan bersenang-senang dengan para bidadari. Kenyataan akan derita korban bom dan kekejiannya telah terkaburkan dan diganti dengan fantasi bidadari dan janji-janji akan indahnya surga.

Atas fenomena tersebut, kita hendaknya waspada dan selalu mengedepankan akal sehat dalam melihat realitas. Realitas yang ada tidak berdiri sendiri, selalu ada wacana yang ingin merebutnya, dan melabelinya dengan makna yang sesuai dengan kepentingannya. Fantasi memang indah, seperti disney world yang senantiasa menyuguhkan kenikmatan tiada batas dan menghidupkan hasrat-hasrat terdalam kita. Orang-orang masuk kedalamnya untuk lari dari kejamnya realitas dunia. Seperti teroris yang terbius akan angan-angan fantasi surga. Selalu mendambakan dunia ‘luar’ sana. Namun, disney world bukanlah dunia nyata. Kita tidak bisa membangun surga dengan menghadirkan ‘neraka’ untuk manusia di dunia. Sadarlah, Teroris bukanlah Pahlawan.

Dalam permasalahan ini, kita harus menyadari bahwa perlu ada wacana tandingan yang menyadarkan betapa kejinya dan menyedihkannya tindakan teorisme. Peran ulama sebagai panutan umat sangat penting dalam memberikan wacana yang benar akan hakekat jihad yang sebenarnya. Ulama harus mampu menjaga agama, dengan memberikan pandangan yang lurus, sehingga agama tidak digunakan untuk membenarkan pembunuhan.

Selain itu, ulama hendaknya bisa memberikan wejangan yang mendamaikan dan menentramkan umat. Bukan sebaliknya, melakukan provokasi dan menebar kebencian antar umat beragama yang berujung pada pertikaian dan perpecahan. Ulama harusnya mampu menghadirkan wajah Islam yang asri, yang tidak hanya mencaci dan membenci. Sehingga, ulama bisa membentuk perdamaian dan meredam kebencian dalam kehidupan umat.

Hadirnya pemahaman bahwa teroris adalah pahlawan adalah indikasi lemahnya wacana tandingan yang memunculkan hijad yang penuh kedamaian dan nilai-nilai Islam yang memelihara kemanusiaan dan hormoni kehidupan. Atas situasi inilah kendaknya para ulama dan kita semua harus mengambil peran dalam kampanye menebar perdamaian dan melawan terorisme. Pencegahan terorisme bukan tanggung jawab perorangan atau suatu instansi saja, namun merupakan kewajiban semua warganegara. Maka, siapapun kita, apapun agamanya dan kedudukannya, perlu bertindak untuk senantiasa melawan teror dan menjalin kebersamaan. Kejahatan berjaya bukan karena tidak ada kebaikan, namun karena orang baik hanya diam dan tidak berani melakukan tindakkan.

Facebook Comments