Pasca Pilkada 2024, gelombang propaganda khilafah mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan yang mengancam keberlangsungan demokrasi di negeri ini. Meski isu ini sudah lama menjadi perdebatan publik, intensitas penyebarannya semakin meningkat dengan memanfaatkan momentum politik yang melelahkan pasca pilkada. Propaganda ini menyusup melalui ruang-ruang diskusi masyarakat, media sosial, hingga ceramah-ceramah keagamaan yang menargetkan lapisan masyarakat yang lelah dengan janji-janji kosong demokrasi.
Ideologi khilafah, yang mengusung konsep pemerintahan berbasis syariat Islam secara absolut, kerap dibungkus dengan narasi-narasi solutif untuk mengakhiri yang menyandera bangsa, seperti ketidakadilan sosial dan kepemimpinan politik yang dianggap lemah. Namun, di balik retorika manis ini, ada ancaman nyata terhadap keberagaman, kebebasan, dan prinsip dasar demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah oleh bangsa Indonesia.
Demokrasi, meski tidak sempurna, telah menjadi sistem yang memberikan ruang bagi rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun, propaganda khilafah justru menempatkan otoritas tunggal pada seorang pemimpin yang dianggap sebagai “wakil Tuhan” di bumi. Dalam struktur ini, tidak ada ruang untuk oposisi, pluralisme, atau perdebatan ide. Semua keputusan berada di tangan elit agama, yang klaimnya atas kebenaran bersifat absolut dan tidak dapat diganggu gugat. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah, toleransi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Pilkada 2024 menjadi titik balik yang dimanfaatkan oleh kelompok pengusung khilafah untuk memperkuat pengaruh mereka. Kekecewaan publik terhadap politisi yang gagal merealisasikan janji kampanye mereka menjadi pintu masuk yang efektif. Banyak warga yang merasa tertipu oleh demokrasi elektoral yang sering kali hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa solusi konkret atas masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Dalam konteks ini, propaganda khilafah menawarkan alternatif yang terlihat sederhana namun menggoda: mengganti sistem yang dianggap rusak dengan tatanan baru berbasis nilai-nilai agama. Narasi ini sangat menarik bagi mereka yang putus asa, terutama di kalangan generasi muda yang semakin skeptis terhadap sistem demokrasi yang dianggap bermasalah.
Namun, dampak dari propaganda ini jauh lebih kompleks daripada yang terlihat di permukaan. Ketika ideologi khilafah mulai mengakar, maka langkah awal yang diambil adalah delegitimasi terhadap institusi demokrasi. Lembaga seperti DPR, pengadilan, hingga media akan dicap sebagai “produk kafir” yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang suci.
Di tengah gempuran propaganda khilafah, tantangan terbesar bagi demokrasi Indonesia adalah menemukan cara untuk merevitalisasi kepercayaan publik terhadap sistem ini. Demokrasi harus mampu membuktikan bahwa ia adalah sistem yang tidak hanya memberikan ruang bagi partisipasi, tetapi juga mampu menghadirkan solusi nyata bagi permasalahan rakyat. Reformasi politik yang menitikberatkan pada transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi harus menjadi prioritas. Tanpa upaya nyata untuk memperbaiki citra dan kinerja demokrasi, propaganda khilafah akan terus menemukan celah untuk menanamkan pengaruhnya.
Kita tidak boleh lupa bahwa demokrasi Indonesia lahir dari perjuangan panjang yang melibatkan berbagai elemen bangsa. Sistem ini adalah buah dari konsensus nasional yang menghormati perbedaan dan menjunjung tinggi persatuan. Menggantinya dengan sistem khilafah yang otoritarian adalah pengkhianatan terhadap semangat kebangsaan yang telah dirintis oleh para pendiri bangsa. Oleh karena itu, penting bagi setiap warga negara untuk tetap waspada terhadap ancaman ini dan bersatu dalam menjaga demokrasi sebagai fondasi negara.
Kematian demokrasi tidak terjadi secara mendadak. Ia mati perlahan, saat rakyat kehilangan kepercayaan pada sistem, saat lembaga-lembaga demokrasi dibiarkan korup, dan saat narasi alternatif seperti khilafah mulai mengambil alih wacana publik. Untuk mencegah hal ini, kita perlu mengambil sikap tegas: memperbaiki kelemahan demokrasi, melawan propaganda yang menyesatkan, dan memperkuat komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara kita. Hanya dengan cara inilah demokrasi dapat bertahan, dan ancaman khilafah dapat diatasi tanpa mengorbankan kebebasan yang menjadi hak setiap individu.