Khutbah merupakan salah satu rukun melaksanakan shalat Jum’at. Tanpa adanya khutbah, shalat Jum’at belum dianggap sah secara fikih. Sementara, Shalat Juma’at sendiri juga merupakan kefardluan yang mesti diikuti oleh setiap muslim. Terkait kewajiban melaksanakan Shalat Jum’at, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Shalat Jum’at itu wajib atas setiap muslim, kecuali 4 golongan yaitu hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan orang sakit.” (HR. Abu Dawud).
Sementara, Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang beriman, apabila diseur untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9).
Terkait dengan khutbah Jum’at, di sebagian masjid ada kecenderungan tidak lagi murni berisikan dakwah ataupun nasihat, peringatan, ataupun motivasi agar umat muslim bertambah shalih di muka bumi. Sungguh, wasiat taqwa kepada Allah SWT selalu disampaikan oleh para khatib di dalam setiap khutbah, namun setelahnya membahas hal-hal yang justru “bertentangan” dengan nilai-nilai luhur agama.
Baca juga :Kurikulum Khutbah Berbasis Teladan Nabi
Saat sang khotib mengangkat tema politik dalam negeri, misalnya. Di awal khutbah, sang khatib membicarakan bahwa pemimpin bangsa mestinya harus seiman dan setaqwa. Dalam paparan selanjutnya, ia membahas kriteria calon pemimpin yang mesti dipilih dengan mengunggulkan satu calon serta merendahkan calon yang lain. Meski tanpa menyebut nama calon pemimpin bangsa yang sedang mendaftarkan diri untuk mengikuti kontestasi politik, sang khatib mengarahkan para jamaah Jum’ah untuk memilih satu pasangan calon dengan cara menceritakan kebaikan dan menutup keburukannya. Pada saat yang bersamaan, ia juga mengajak para jamaah agar “meninggalkan” calon pasangan calon lainnya dengan cara mengubar bahkan membersar-besarkan aib serta menutup kebaikan yang sudah nyata.
Secara langsung, banyak khatib tidak mengarahkan para jamaah untuk memilih calon pemimpin bangsa. Namun, inti sari dari paparan khutbah yang disampaikan adalah mengarahkan para jamaah untuk memilih salah satu calon pasangan pemimpin bangsa dengan meninggalkan calon pasangan lainnya. Kondisi ini belumlah menjadi masalah yang besar dalam agama. Yang menjadi persoalan adalah, paparan khutbah yang disampaikan khatib bernuansa fitnah, hoaks, hingga adu domba kepada masyarakat luas. Dan semua ini disampaikan oleh khatib bukan dalam rangka dakwah Islamiyah melainkan memenuhi syahwat politik pribadi dan atau golongan.
Kondisi ini juga hampir sama dengan penyampaian khatib terkait tema khutbah tentang keimanan. Terdapat sebagian khatib menyampaikan materi khutbah terkait keimanan, namun dalam pemaparannya justru mengunggulkan satu organisasai keagamaan tertentu dengan merendahkan yang lain. Parahnya, dalam pemaparan tersebut, seorang khatib menyembunyikan kebaikan tradisi ormas tertentu dengan membicarakan kejelekan belaka. Sementara, terhadap ormas yang lain, ia memoles sehingga terlihat baik dengan menutup kejelekan yang sudah nyata. Parahnya, umat diajak untuk “memilih” ormas yang sering mengajarkan perpecahan dan radikalisme.
Realita semacam ini mesti mendapatkan perhatian khusus, lebih-lebih khutbah Jumat bukan saja dilakukan setiap satu pekan sekali melainkan dinilai sakral melebihi pidato keagamaan lainnya. Apabila kenyataan ini terus saja dibiarkan, maka khutbah Jumat akan semakin jauh dari nilai-nilai luhur yang ada dalam agama Islam. Khutbah yang mestinya untuk menyiarkan agama Islam justru dipergunakan untuk melemahkan.
Wallahu a’lam.