Kurikulum Khutbah Berbasis Teladan Nabi

Kurikulum Khutbah Berbasis Teladan Nabi

- in Narasi
1048
1
Pentingnya Kurikulum Khutbah untuk Membentengi Umat

Intoleransi yang menguat belakangan semakin mengkhawatirkan saja. Selain telah merambah ke dunia akademik kita, bibit-bibit sikap intoleran juga ternyata mulai menjangkiti masjid-masjid milik pemerintah. Tentu saja, sebagai penggerak roda pemerintahan, keberadaan virus intoleran-radikalisme di lembaga pemerintah akan berpengaruh pada sikap dan perspektif keagamaan pejabat pemerintah.

Sebagaimana diberitakan cnnindonesia.com, bahwa BIN mendapat laporan dari Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) NU, bahwa ada 41 dari 100 masjid yang terindikasi terpapar radikalisme. Ironisnya, masjid tersebut berada di lingkungan pemerintahan. Sebenarnya, bukan masjidnya yang bermasalah, melainkan ada penceramah dalam masjid tersebut berpaham intoleran. Apa yang dilakukan P3M NU dan BIN merupakan langkah preventif dini, supaya persebaran radikalisme tidak masif.

Ali Musthafa Yaqub dalam islampos.com menyatakan, bahwa selain fungsi utama sebagai tempat ibadah dan menghimpun jamaah, masjid juga berfungsi untuk menuntut ilmu, musyawarah, merawat orang sakit, dan asrama. Aktivitas semacam inilah yang dulu mewarnai masjid Nabawi, di masa Rasulullah Saw. Namun, poin menjadikan masjid sebagai ‘asrama’ untuk hari ini, menurut Ali, sudah tidak releval lagi. Maka, mengoptimalkan fungsi-fungsi lainnya mendesak untuk dilakukan.

Baca juga :Pentingnya Kurikulum Khutbah untuk Membentengi Umat

Tidak disangkal, bahwa masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam menjadi lahan basah penyemaian nilai-nilai tertentu. Fungsi untuk menuntut ilmu dan bermusyawarah, misalnya, akan memantik jamaah untuk terus mencari kebenaran. Jika yang memegang kendali ‘mimbar masjid’ adalah muslim berwawasan kebangsaan yang baik, maka hasilnya adalah terciptanya jamaah dengan perspektif keberagamaan toleran. Namun, jika pemegang kendali adalah individu intoleran, maka bisa dipastikan kegaduhan demi kegaduhan akan terjadi; ujaran kebencian, takfiri, sesat, dan provokasi. Bukankah fenomena politisasi masjid jelang Pilkada DKI 2017 telah cukup menjadi pelajaran bagi kita, bahwa hal itu hanya memecah belah persatuan umat?

Maka dari itu, hasil survei yang dirilis BIN, sekalipun banyak pihak yang mengkritiknya, karena variabel yang digunakan hanya konten khutbah, tetap perlu ditindak lanjuti. Sehingga, pemerintah bisa langsung melakukan tindakan pencegahan, bukan malah menjadi ‘pemadam kebakaran’ yang baru beraksi begitu radikalisme telah mengakar dan membasis di masjid-masjid pemerintahan.

Agaknya kita perlu mengapresiasi cepat-tanggapnya Jusuf Kalla, selaku ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) dalam mengambil sikap. Selain ia bersama rekan-rekan di DMI melakukan pendekatan kepada para penceramah atau dai, juga berupaya untuk merumuskan batasan-batasan dalam berdakwah. Pembatasan tersebut antara lain adalah pembuatan kurikulum ceramah. Kurikulum tersebut bukan dimaksudkan untuk menyeragamkan konten khutbah, melainkan menetapkan tema besar dakwah setiap bulannya. Selain itu, ada pula penilaian yang diberlakukan untuk para penceramah.

Mengenai etika dakwah, sebagai muslim mesti mengacu kepada ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam al-Qur’an surat an-Nal ayat 125 dijelaskan: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Quraish Shihab dalam tafsirnya (tafsirq.com) mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah supaya Nabi Muhammad Saw. (dan muslim) supaya meniti jalan kebenaran. Untuk mendakwahkan ajaran Islam, diperintahkan untuk memilih jalan yang terbaik, sesuai dengan kondisi masyarakat. Sementara kepada para cendekiawan, hendaknya berdialog dengan baik, sesuai kapasitas keilmuan mereka. Adapun kepada orang awam, ajaklah mereka dengan memberikan perumpamaan yang sesuai taraf mereka, sehingga mereka sampai kepada kebenaran melalui jalan terdekat yang paling cocok.

Menyimak penjelasakan Quraish Shihab, telah gamblang bahwa dalam berdakwah, amat diperhatikan metodenya. Ada penekanan supaya memerhatikan kondisi sosial-geografis dan juga psikologis jamaah, supaya pesan dakwah bisa tersampaikan dengan baik.

Tidak ada ceritanya Rasulullah Saw. dalam berdakwah dengan menebar ujaran kebencian, berita bohong, ataupun menyesatkan kelompok lain tanpa alasan yang jelas –atau praduga. Beliau selalu menekankan, dalam dakwah, di samping kontennya baik, juga metodenya mesti sesuai dengan kondisi dan tingkat pemahaman audiens.

Maka dari itu, jika memang rencana DMI untuk membikin kurikulum ceramah atau khutbah, hendaknya merujuk pada teladan Nabi Muhammad Saw. yang seiya-sekata dengan firman Allah Swt. Al-Qur’an memberikan ajaran teks dalam artian tulisan kepada kita, sementara Rasulullah Saw. memberikan teladan yang konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa dakwah, dalam hal ini bil lisan, mesti memuat nilai-nilai perdamaian dan juga disampaikan dengan santun dan bahasa yang sederhana, sehingga, di samping berorientasi pada terciptanya generasi muslim toleran, juga mereka mudah memahami makna dari konten dakwah.

Facebook Comments