Kisah yang cukup populer bercerita tentang Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang begitu gagah dalam medan perang. Suatu ketika saat pertarungan satu lawan satu, Sayyidina Ali mampu merobohkan musuhnya. Satu kali tebasan pedang musuh itu pasti terbunuh. Namun, tiba-tiba sang musuh meludhi wajah Sayyidina Ali.
Sontak beliau sangat marah dan emosi. Dalam keadaan termakan amarah dan kebencian terhadap sang musuh, sepupu kesayangan Rasulullah itu enggan melanjutkan pertarungan. Sang musuh menjadi heran dan bertanya kenapa Ali tidak melanjutkan pertarungan yang hanya tinggal satu kali sabetan pedang.
Alasan Sayyidina Ali mengurungkan pertarungan karena ia khawatir pembunuhan terhadap musuh terjadi karena nafsu kebencian untuk menjaga kehormatan dirinya, bukan berperang karena jihad fi sabilillah. Ia tidak ingin mengotori jihad dengan nafsu kebencian pribadi. Ali menjaga niat jihad yang sebenarnya untuk tidak mengumbar kebencian pribadi sekalipun terhadap musuh.
Kisah ini menyiratkan pelajaran penting bagaimana sejatinya dalam kondisi perang pun, aspek penting yang harus dilakukan adalah melawan hawa nafsu dan egoisme. Perang bukan berarti pengumbaran emosi pribadi dan kelompok untuk membunuh musuh, apalagi membunuh mereka yang tidak berdosa.
Perang yang sesungguhnya adalah menjaga nyawa yang tidak berdosa dari imbas kebencian musuh. Karena itulah, dalam perang Rasulullah sangat melarang untuk merusak fasilitas publik, membunuh agamawan, perempuan, anak-anak hingga rumah ibadah. Jihad melalui perang bukan merusak tetapi menjadi manusia dan lingkungan dari potensi kerusakan.
Dalam hadist yang dinilai sanadnya lemah, tetapi secara subtansi shahih Nabi mengatakan tentang peperangan yang lebih besar dari peperangan fisik yakni perang melawan hawa nafsu. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Zaadul Ma’ad juga membagi tingkatakn jihad dengan 4 tingkatan yang dua di antara yang penting adalah melawan hawa nafsu dan setan.
Kisah lain diceritakan Rasulullah yang diriwayatkan Imam Muslim, Imam An-nasai, Imam Ahmad dan Imam Baihaqy tentang tiga muslim yang terpadang di dunia yakni mujahid perang, alim dan dermawan yang menghadapi sidang di Mahkamah Allah. Ketiganya ternyata bukan mendapatkan surga, tetapi neraka. Kenapa ?
Tentu saja orang yang merasa mujahid untuk mengatakan : Saya telah berperang karena-Mu sehingga saya mati Syahid. Tetapi Allah menyangkalnya : Kau telah berdusta. Kamu berperang agar nanamu disebut sebagai pemberani dan mati syahid. Dan ternyata kamu telah disebut-sebut demikian. Lalu mujahid itu dilempar ke neraka.
Betapa bedanya sangat tipis antara orang yang telah berperang yang sebenarnya dalam peperangan antara jihad fi sabilillah dengan jihad lil hawa. Antara jihad dalam perang untuk Allah dengan jihad perang hanya membela gengsi harga diri dan kelompoknya.
Jika dalam kondisi perang yang sebenarnya niat jihad perlu diperbaiki, bagaimana dengan mereka yang hanya mempersepsikan diri sedang berperang tetapi dalam kondisi damai. Bukan musuh yang sedang berperang yang mereka bantai, tetapi para korban yang tidak bersalah. Bahkan gedung, pepohonan, anak-anak, perempuan dan orang tua menjadi korban keganasan bom bunuh diri yang mereka sebut sebagai jihad.
Mereka yang nyata jihad dalam peperangan yang sebenarnya pun masih dipertanyakan apakah niat mereka untuk jihad fi sabilillah, atau sekedar gengsi dan kehormatan diri disebut mujahid dan mendapatkan 72 bidadari.
Sangat tipis antara perang di jalan Allah dengan perang untuk hawa nafsu dan kebencian. Namun, persepsi perang bom bunuh diri dengan jihad sangat kentara pembedanya. Mereka hanya mati konyol untuk nafsu mereka dan kelompoknya dan tidak ada alasan pembenaran apapun dalam Islam kecuali mereka mati karena hawa nafsu.