Korelasi Pancasila dan Al-Qur’an

Korelasi Pancasila dan Al-Qur’an

- in Keagamaan
558
0
Korelasi Pancasila dan Al-Qur'an

Sudah hampir 80 tahun Pancasila menjadi ideologi bangsa, tetapi masih saja ada oknum yang mempertentangkanya dengan Al-Qur’an. Narasi-narasi untuk mempertentangkan pancasila dengan Al-Qur’an semakin gusar di media sosial. Lebih parah lagi, justru isu yang basi ini malah laku di tengah masyarakat. Tentu dalam hal ini perlu pemahaman secara mendalam terlebih dahulu, baik dalam memahami teks Al-Qur’an dan Pancasila.

Sudah seharusnya dalam memahami sebuah teks Al-Qur’an harus memperhatikan konteks turunnya ayat, baik tempat di turunkan Al-Qur’an ataupun tempat Al-Qur’an akan diimplimentasikan atau diaplikasikan. Dengan kata lain, menjadi sebuah keniscayaan untuk melek pada konteks dan realitas sosial yang ada.

Sebuah tafsir tidak akan signifikan dalam membuat perubahan, jika tanpa memperhatikan konteks di mana Al-Qur’an akan diterapkan. Hal ini selaras dengan pendapat Farid Esack—pemikir Islam dari Bangsa Afrika Selatan—, bahwa penafsiran yang bersifat bebas dan universal nilai hanyalah nonsense. Tafsir justru akan berhasil ketika melibatkan nilai-nilai partikular di mana sang penafsir hidup.

Hal demikian bisa dilihat dari cara Nabi Muhammad SAW. memahami Al-Qur’an dalam menyelesaikan berbagai masalah saat itu. Beliau pun juga merupakan seorang penafsir yang bertempat tinggal di Arab. Adapun ketika memahami dan mengamalkan nilainya, tentu sangat memahami konteks dan kondisi orang Arab kala itu.

Maksudanya adalah, ketika Nabi Muhammad dalam mengapilasikan Al-Qur’an sangat memperhatikan konteks dan nilai-nilai budaya lokal saat itu. Dengan demikian, pada konteks Indonesia, penafsir seharusnya juga menyesuaikan kebudayaan lokal dan adat istiadat dalam penerapan nilai-nilai Al-Qur’an. Indonesia memiliki sejarah dan nilai yang sangat penting untuk menjadi pertimbangan dalam memahami Al-Qur’an.

Maka dari itu, jika ada orang yang memahami Al-Qur’an, tanpa mempertimbangkan kebudayaan lokal dan adat istiadat bangsa Indonesia, berarti sejatinya tidak mengikuti cara Nabi dalam mengamalkan Al-Qur’an. Begitu pula sebaliknya, berarti ia sedang melakukan “pemerkosaan” ayat Al-Qur’an, sehingga yang terjadi adalah memperburuk keadaan, bukan malah memperbaiki keadaan.

Al-Qur’an dan Pancasila

Dalam konteks keIndonesiaan, terdapat oknum yang menafsirkan bahwa Pancasila tidak selaras dengan Al-Qur’an, dengan dalih pancasila produk kafir, maka harus kembali ke sistim khilafah. Padahal, hakikatnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Al-Qur’an tidaklah bersebrangan, bahkan malah satu tujuan. Sebagai umat muslim, seharusnya meyakini bahwa Pancaila merupakan ideologi bangsa dan Al-Qur’an merupakan sumber pertama yang harus diaktualisasikan dengan melibatkan lima sila Pancasila, yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.

Kelima sila tersebut merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang ingin dicapai bersama. Hal inilah yang dimaksud dengan mendialogkan teks Al-Qur’an dan konteks (Indonesia). Dalam hal ini, tidak bermaksud untuk menundukkan Al-Qur’an di bawah Pancasila, tetapi Al-Qur’an tetap menjadi sumber utama, adapaun Pancasila sebagai wadah mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur’an.

Sebagai contoh penafsiran Al-Qur’an yang berparadigma nilai Pancasila, yakni Q.S. Ali Imran: 64 “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada kalimatun sawa…”. jikalau merujuk pada konteks Bahasa Arab, kata “sawa’un” bisa diartikan dengan memperbaiki, merukunkan, dan mendamaikan.

Pada konteks keIndonesiaan, harus dipahami dengan paradigma Pancasila. Maka. Kalimatun sawa adalah bersama-sama dalam menjunjung tinggi nilai Ketuhanan dengan mengakui bahwa semua pemeluk agama, meskipun dengan baju agama yang berbeda, tetapi sama dalam hal visi yakni ketuhanan, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, dan menjaga persatuan NKRI. Wallahu a’lam bi al-shawaab

Facebook Comments