Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

- in Kebangsaan
161
0
Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang konon mampu menciptakan pribadi-pribadi yang terkesan “songong.” Tempatkan, seumpamanya, seorang ahli filsafat untuk ngomong, sudah pasti segala tema akan ia lahap secara tamak. Atau setidaknya, ia akan mampu membuat goyah bangunan tema-tema pembicaraan yang beraneka macam. Karena itulah sikap defensif yang muncul dari para ahli ilmu di luar filsafat adalah sekiranya ingin menjadi spesialis jangan pernah belajar atau bahkan menjadi ahli filsafat.

Pada ranah seni musik pun sikap defensif atas kekhususan musik dan para pemusiknya juga pernah dipeningkan oleh para etnomusikolog yang dengan seenaknya dapat bergerak dari konsep dan praktik musik-musik Timur sampai musik-musik Barat, dari yang tradisional hingga yang kontemporer. Dengan kata lain, untuk menyebut dua disiplin ilmu itu, filsafat dan etnomusikologi, adalah dunia-dunia yang dulu pernah dicibir sebagai produsen dari segala ketakdalaman yang ternyata di hari ini tengah menjadi tuntutan zaman.

Tengoklah dunia dakwah dihari ini yang tak jauh beda dengan dunia entertainment, dimana sang ustadz atau sang kyai tak ubahnya pula para selebritis yang mencuat lengkap dengan segala gosip yang mengitarinya. Atau politisi dalam dunia politik yang tak jauh beda pula dengan para dramawan yang lengkap dengan segala skill dan kebohemian dalam bermain teater, yang rasanya sulit untuk kemudian melabeli mereka sebagai sosok-sosok “negarawan.”

Tapi, di atas semua itu, multiplisitas seperti itulah yang ternyata tengah menjadi selera publik. Tentu fenomena yang sangat tak dikehendaki orang-orang yang menghendaki kedalaman ini tak perlu disesali di tengah gelombang zaman yang memang menghendaki ketakdalaman dan leburnya segala batas. Pada konteks sosio-kultural Indonesia yang plural dan multidimensional jelas fenomena itu dapat bersifat konstruktif.

Tanpa orang mendengungkan fakta-fakta pluralitas dan multikulturalitas bangsa, kondisi zaman ternyata dengan sendirinya sudah membentuk pribadi-pribadi yang plural dan multikultural—meskipun banyak yang masih belum melek bahwa yang tengah mereka jalankan itu adalah sebentuk pluralisme dan multikulturalisme.

Taruhlah tradisi shalawatan yang di hari ini berjalan tak ubahnya sebuah konser musik dangdut atau metal yang lengkap dengan segala ekspresifitasnya. Ketika fenomena semacam ini dipahami, ternyata secara tak sadar mereka tengah menoleransi dunia “hura-hura” yang konon lekat dengan pertunjukkan musik. Dua dunia yang seolah terbelah dan berhadap-hadapan, dunia agama yang sakral dan dunia seni yang profan, menjadi cair dan bahkan tak terbedakan lagi.

Apakah dengan demikian masa depan pluralitas dan multikulturalitas bangsa Indonesia menjadi cerah, mengingat pluralisasi dan multikulturalisasi ternyata sudah berjalan secara murah meriah tanpa adanya upaya strukturisasi, laiknya udara yang dapat dihirup dan dihembuskan di mana saja?

Tentu saja tak sesederhana itu mengingat masih banyak juga terjadi kasus-kasus intoleransi atas perbedaan di negeri ini. Di sinilah kemudian perlunya upaya kritik kebudayaan secara menyeluruh atas jalannya sebuah kebudayaan ataupun tradisi kontemporer (tradisi yang berjalan dan terbentuk oleh kondisi zaman) yang ketika dipertanyakan asumsi-asumsi yang mendasarinya ternyata tak berjalan secara runtut. Perbaikan asumsi-asumsi dasar, lewat tradisi kritik, setidaknya akan membuat orang menjadi runtut luar dan dalamnya, nalar dan tindakannya, iman dan amalnya, atau melek atas segala hal yang tengah dilakoninya.

Facebook Comments