Kritis Seperti Imam Bukhori agar Terhindar dari Paham Ekstremisme

Kritis Seperti Imam Bukhori agar Terhindar dari Paham Ekstremisme

- in Keagamaan
53
0
Kritis Seperti Imam Bukhori agar Terhindar dari Paham Ekstremisme

Filsafat merupakan sistem pengetahuan yang mengandalkan kebebasan berpikir secara kritis, alih-alih terpaku kepada teks. Itulah mengapa sulit untuk berpikir bahwa kajian hadis mampu bekerja sama dengan filsafat dalam menghasilkan hadis-hadis yang otentik.

Mengapa sulit? Karena hadis merupakan kajian tekstual, dan filsafat adalah kajian nalar tak terbatas. Namun faktanya, Imam Bukhori berhasil mengawinkan antara filsafat dan kajian hadis.

Perlu diingat bahwa sebagian dari khazanah ushul fiqih yang kita miliki selama ini sebenarnya adalah produk akal dan pikiran. Tidak ada masalah dengan hal itu karena memang Al-Qur’an sendiri mengharuskan manusia untuk mendayagunakan akal budi dalam beragama.

Bahkan ditegaskan langsung dalam QS. al-Baqarah: 164 bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci khusus untuk orang-orang yang mau berpikir saja. Kemudian, jika kita sudah mampu berpikir mengikuti alur-alur yang benar maka itulah yang disebut dengan filsafat.

Imam Bukhori merupakan imam ahli hadis yang paling banyak menggunakan filsafat dalam kajian hadisnya. Maka kajian hadis Imam Bukhori yang menggunakan kerangka metodologi dan gagasan-gagasan filsafat itulah yang akhirnya memunculkan sebuah ilmu, yaitu ilmu kritik hadis.

Jika hendak kembali sejenak, Imam Bukhori, dalam menerapkan ilmu kritik hadisnya sebenarnya berangkat dari rumusan-rumusan ilmu kritik hadis yang digagas Imam Syafi’i. Berbeda dengan zaman Imam Bukhori, kajian kritik hadis sebelumnya hanya mengandalkan ingatan dan hafalan teks.

Imam Syafi’i kemudian didaulat sebagai tokoh yang berjasa dalam perumusan kaedah ilmu kritik hadis tersebut dan direkam dalam kitabnya, Al-Risalah dan Al-Umm. Maka, kemudian Bukhori, Muslim, serta yang lainnya dari periode mutaqaddimin (ulama hadis awal) memperjelas benih-benih rumusan tersebut dengan menerapkannya pada hadis-hadis yang mereka teliti dan mereka riwayatkan. Itulah mengapa Imam Bukhori bisa dikatakan sebagai pelaku pertama dan utama gagasan filosofis dalam ilmu kritik hadis.

Kajian ilmu kritik hadis Bukhori ini kemudian bisa dipahami sebagai bagian kecil dari proses berfilsafat dan bermetodologi ilmiah. Salah satu gagasan yang menjadi fondasi Imam Bukhori dalam kajian kritis hadis adalah skpetisisme.

Skeptisisme berarti keraguan, atau tidak langsung percaya. Dalam bahasa lain, lebih baik tidak mempercayai suatu berita daripada mempercayainya tanpa bukti sama sekali.

Imam Bukhori dalam menyeleksi hadis selalu mengutamakan sikap skeptis terlebih dahulu. Ketika ia mendapatkan suatu hadis, ia langsung berkata bahwa ia tidak mempercayai hadis tersebut hingga ia tahu mana orang yang mengatakannya, siapakah ia, apakah ia benar-benar pernah hidup dan kredibel.

Imam Bukhori menelusurinya sedemikian rupa hingga kemudian bisa diverifikasi dan dikonfimasi bahwa hadis tersebutsahih. Penelusuran kritisnya bahkan dibagi menjadi dua kategori, yaitu verifikasikesahihansanad dan verifikasikesahihanmatan. Dalam penelitian sanad misalnya, jika dalam sebuah transmisi hadis terdapat satu orang perowi saja yang diketahui pernah berbohong dengan sengaja, maka status kesahihan hadis tersebut bisa gugur. Bahkan tertolak.

Proses tersebut berangkat dari sikap skeptis, dan skeptis merupakan jiwa seorang filsuf. Itulah alasan meski Imam Bukhori hafal ratusan ribu hadis, namun yang ia nyatakan sahih hanya 7000 saja, sedangkan ¾ lainnya merupakan pengulangan.

Artinya bahwa beriman kepada hadis sahih itu adalah sebuah keharusan. Tapi untuk menyebut bahwa ini hadissahih, inidaif, inimaudu’dan sebagainya itu adalah ijtihad dan hasil “penelitian” dari para ulama. Artinya menggunakan akal pikiran, bukan dalil.

Jika kita ambil pelajaran dari Imam Bukhori ke zaman sekarang, banyak konten-konten informatif yang tersebar di berbagai platform digital, baik Youtube, Telegram, Line, Instagram dan sebagainya.

Jika hendak mengambilnya langsung sebagai konsumsi hiburan, maka tidak masalah. Jika informasi yang kita terima merupakan info ilmiah atau bahkan ajaran agama, alangkah baiknya jika pelajaran Imam Bukhori tersebut kita terapkan, yaitu skeptis. Kita telusuri kebenarannya hingga bisa diverifikasi.

Orang berilmu bukanlah orang yang sekedar memiliki banyak pengetahuan saja, namun pengetahuannya harus benar-benar teruji dan terkonfirmasi kebenarannya, bukan pengetahuan abal-abal. Maka sikap skeptis menjadi salah satu fondasi orang dalam menuntut ilmu, fungsinya untuk memunculkan keterujian, atau dalam bahasa filsafat disebut empirisme.

Misalnya muncul di media sosial unggahan yang mengatakan bahwa Islam perlu ditegakkan dengan perang. Kita perlu mencari tau siapa orang yang pertama kali menyuarakan ajaran itu dan kita uji alasan pernyataannya dia. Jika yang mengatakannya tidak pernah diketahui atau tidak jelas validitasnya, maka jangan diikuti. Itulah prinsip beragama ala Imam Bukhari.

Memang tidak semua orang punya kapasitas untuk menguji sebuah informasi, namun justru di sinilah filsafat Imam Bukhori bekerja: bahwa setiap informasi yang datang secara sangat masif ini janganlah diterima dan ditelan secara cuma-cuma.

Bersikap ragu atau skeptis justru terkadang lebih baik dari pada menelan mentah-mentah semua berita yang datang kepada kita. Bukankah di era sekarang pecah belah di masyarakat justru dimulai dari akses berita yang tak terbendung.

Dengan menahan diri melalui sikap keragu-raguan ala Imam Bukhari ini, kita mampu membendung atau mengurangi fenomena orang-orang yang suka mempertentangkan pendapat, mengklaim kebenaran sepihak, dan memaksakan kehendak.

Untuk apa Tuhan menciptakan pikiran jika semua informasi hanya masuk melalui telinga dan secara tergesa-gesa langsung dikeluarkan lewat mulut tanpa diproses melalui akal terlebih dahulu?

Facebook Comments