KUNJUNGAN NABI MUHAMMAD TANPA DAKWAH

KUNJUNGAN NABI MUHAMMAD TANPA DAKWAH

- in Narasi
5085
0

Sangat keliru jika dikatakan bahwa dalam setiap kunjungan Nabi Muhammad ke beberapa wilayah bertujuan untuk berdakwah. Sebaliknya, beberapa kunjungan Nabi justru di luar urusan keislaman sebagaimana yang dipikirkan umat Islam saat ini. Di mana sebagian umat Islam memberikan patokan khusus berupa larangan dan anjuran. Raja Salman yang mau berkunjung ke China misalnya, disebut sebagai kunjungan yang tidak islami karena mengunjungi negara komunis atheis. Lalu bagaimana kunjungan Nabi Muhammad sebagai tolak ukur kunjungan islami?

Setidaknya ada sepuluh tempat yang pernah dikunjungi Nabi Muhammad. Namun wilayah yang paling fenominal dan sering diperingati oleh umat islam adalah kunjungan Nabi ke tujuh langit yang sering disebut sebagai isra’ mi’raj. Jika dicermati lebih dalam, Isra’ mi’raj bukan hanya berisi soal perintah wajibnya shalat tapi lebih dari itu bagaimana Nabi Muhammad membangun relasi lintas batas dan jaman. Hanafi Muhalli dalam bukunya “Amakin Masyirah fi hayat Muhammad saw” menyebutkan bahwa tujuan kunjungan Nabi ke tujuh langit sebagai bentuk konsultasi kepada Nabi-Nabi sebelumnya tentang cara dan metode menghadapi umat.

Dalam beberapa kitab ulumul Qur’an disebutkan bahwa ada beberapa ayat al Qur’an yang memang diwahyukan kepada Nabi sebelumnya yang kemudian diwahyukan pula kepada Nabi Muhammad. Ayat-ayat yang dimaksud biasanya dimulai dengan kata, “qala musa”, “qala isa”, dan lain-lain. Hal ini membenarkan apa yang dikatakan oleh Hanafi di atas bahwa kehadiran Nabi kepada umat sebelumnya merupakan kunjungan mencari ilmu. Wajar banyak kemiripan antara al Qur’an dengan kitab-kitab sebelumnya. Ayat “barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah” merupakan contoh ayat yang diwahyukan kepada Nabi Musa, pembawa agama Yahudi. Tak heran jika ajaran itu juga ada di kitab taurat.

Demikian juga dengan Nabi Isa. Dalam kitab “Din Allah Wahid; Muhammad wal Masih Akhwan” Syekh Mahmud Abu Rayyah mengatakan bahwa hubungan antara Nabi Isa dengan Nabi Muhammad sangatlah erat. Pendiri agama Nashrani ini tidak hanya menjadi guru bagi Muhammad tapi juga sebagai saudara dan mitra dalam membangun umat. Tidak heran jika dalam kunjungannya ke Bethlem (Bait Lahm), Nabi menyempatkan diri melaksanakan shalat dua rakaat sebagai ucapan salam dan penghomatan kepada Nabi Isa, gurunya.

Begitu juga ketika Nabi berkunjung ke Syam. Umat Islam pasti paham bahwa perjalanan Nabi ke Syam bukan urusan berdakwah tapi untuk mencari rejeki. Tidak hanya itu, di Syam Nabi juga bisa mengamati tentang potensi-potensi perekonomian yang bisa dikembangkan kelak ketika pulang ke Mekkah. Sepulangnya dari Syam, Nabi bisa membangun ekonomi mandiri. Tidak hanya ekonomi mandiri untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain.

Begitu juga kunjungan Nabi Muhammad ke Madinah yang sering disebut sebagai hijrah. Memang, sebagian orang menengarai bahwa hijrahnya Nabi untuk mengembangkan Islam. namun tak dapat dipungkiri bahwa hijrah Nabi juga berawal dari upaya mencari selamat dari ancaman orang-orang yang membenci Nabi. Sebagai kunjungan pertama Nabi setelah diangkatnya menjadi Nabi, tentu yang ditemui bukanlah orang-orang yang beragama. Ada beberapa macam agama di Madinah kala itu. Namun bagi Nabi, kunjungan itu sangat bermakna bukan hanya soal keselamatan dirinya tapi juga orang-orang yang berada dalam lindungannya yang disebut kaum muhajirin yang juga berada dalam ancaman.

Kisah di atas mencerminkan bahwa sebuah kunjungan islami tidak serta merta membawa nilai-nilai dakwah melainkan juga penyelematan terhadap kehidupan. Artinya, bukan ke wilayah mana kita mesti berkunjung tapi lebih kepada tujuannya. Itulah mengapa Nabi mengatakan bahwa hijrah itu ditentukan oleh niat. Niat yang baik menentukan hakekat dan nilai dari sebuah kunjungan. Sekali lagi, bukan berada pada soal wilayah yang dikunjungi.

Dalam sebuah hadits lain Nabi mengatakan agar umat islam rajin mencari ilmu sekalipun ke negri China. Hal yang ingin dikatakan oleh Nabi tentunya bukan pada persoalan wilayah atau lokasi tapi lebih kepada hakekat pentingnya mencari ilmu. China yang pada saat itu jelas-jelas belum mendapat syiar Islam, umat Islam masih diminta untuk belajar. Demikian juga soal rencana kunjungan raja Salman ke China tidak bisa diartikan sebagai kunjungan yang bermasalah dari aspek teologis. Jika niatnya untuk mengangkat ekonomi negara Saudi tentu saja kunjungan tersebut sangat islami. Bukankah kemiskinan lebih mendekati kekafiran?

Facebook Comments