Kunjungan Paus Fransiskus sebagai Pewarta Kekuatan Keberagaman Indonesia

Kunjungan Paus Fransiskus sebagai Pewarta Kekuatan Keberagaman Indonesia

- in Narasi
20
0
Kunjungan Paus Fransiskus sebagai Pewarta Kekuatan Keberagaman Indonesia

Kunjungan bersejarah Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3-6 September 2024 membawa angin segar bagi hubungan antar umat beragama di negeri ini. Dengan tema “Faith, Fraternity, and Compassion”, kunjungan ini bukan sekadar kunjungan diplomatis seremonial saja, melainkan momentum penting untuk kita merefleksikan dan memperkuat fondasi toleransi serta kebinekaan yang telah lama menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Di tengah tantangan global akan meningkatnya intoleransi dan radikalisme, Indonesia memiliki kesempatan emas untuk menunjukkan pada dunia bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat menjadi landasan kokoh bagi kerukunan antar umat beragama.

Sejarah hubungan Islam-Kristen di Indonesia telah melalui berbagai dinamika. Sejak masa awal perjumpaan kedua agama ini di Nusantara, telah terjadi interaksi yang kompleks, mulai dari pertukaran budaya hingga gesekan-gesekan sosial. Catatan sejarah menunjukkan bahwa kedua komunitas ini pernah mengalami ketegangan dan konflik, terutama pada masa-masa transisi politik seperti di akhir era Orde Baru. Konflik Ambon dan Poso di awal 2000-an menjadi luka yang masih membekas dalam ingatan kolektif bangsa. Namun, di balik narasi konflik ini, terdapat juga kisah-kisah inspiratif tentang persaudaraan dan solidaritas lintas iman yang jarang dimunculkan.

Dalam konteks inilah, pesan persaudaraan yang dibawa oleh Paus Fransiskus menjadi sangat relevan. Kunjungannya bukan hanya simbolis, tetapi membawa misi konkret dalam memperkuat kerja sama antar umat beragama. Paus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin agama yang cukup vokal dalam menyuarakan pentingnya persaudaraan universal, sebagaimana tertuang dalam ensikliknya “Fratelli Tutti”. Pesan ini tentu sejalan dengan semangat Pancasila, khususnya sila pertama dan kedua, yang menekankan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Menerjemahkan tema “Faith, Fraternity, and Compassion” ke dalam konteks Indonesia memerlukan pemahaman mendalam tentang kompleksitas masyarakat kita. Iman (Faith) dalam keberagaman Indonesia bukan berarti penyeragaman keyakinan, melainkan pengakuan akan keunikan setiap agama sambil mencari titik temu universal. Indonesia, dengan ratusan suku bangsa dan agama/kepercayaan yang menghiasinya, adalah laboratorium hidup bagi pluralisme agama sedunia.

Persaudaraan (Fraternity) menjadi jembatan yang menghubungkan perbedaan dalam kehidupan beriman kita. Dalam konteks Indonesia, persaudaraan ini terwujud dalam berbagai bentuk gotong royong dan kearifan lokal yang telah lama menjadi perekat masyarakat. Misalnya, tradisi “pela gandong” di Maluku yang mengikat persaudaraan antar desa lintas agama, atau “slametan” di Jawa yang menjadi ruang perjumpaan warga tanpa memandang latar belakang apapun. Persaudaraan semacam ini menjadi fondasi penting bagi kerukunan, sekaligus benteng terhadap infiltrasi paham radikal yang mencoba memecah belah.

Kasih (Compassion) dalam konteks Indonesia dapat dipahami sebagai wujud nyata dari nilai-nilai Pancasila. Sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, mengajarkan kita untuk tidak hanya toleran, tetapi juga aktif dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. Kasih dalam pengertian ini tidak terbatas hanya pada perasaan saja, melainkan aksi nyata dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur. Ini sejalan dengan ajaran berbagai agama tentang cinta kasih dan kepedulian terhadap sesama.

Memperkuat toleransi dan kebhinekaan di Indonesia memiliki implikasi yang jauh lebih luas dari sekadar harmoni internal saja. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi ini, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi model bagaimana keberagaman dapat menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Kunjungan Paus Fransiskus menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan pada dunia bahwa hubungan antar agama bukan hanya mungkin, tetapi juga dapat menghasilkan kerja sama konkret dalam mengatasi tantangan global seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan krisis lingkungan.

Narasi ekstremis yang mencoba memecah belah bangsa dengan klaim eksklusivitas agama harus dilawan dengan narasi inklusif yang berakar pada nilai-nilai Pancasila dan kearifan lokal. Keragaman agama di Indonesia bukan ancaman, melainkan modal sosial yang tak ternilai. Melalui pendekatan yang mengedepankan iman (faith) yang inklusif, persaudaraan (fraternity) yang tulus, dan kasih (compassion) yang universal, Indonesia dapat membangun fondasi yang lebih kokoh untuk perdamaian dunia. Momen kunjungan ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan diri sebagai bangsa yang bukan dibangun atas dasar penyeragaman dan eksklusivisme, melainkan dalam semangat keberagaman dan inklusivitas.

Kunjungan Paus Fransiskus hendaknya tidak hanya menjadi momen sesaat, tetapi titik awal bagi refleksi dan aksi nyata dalam memperkuat toleransi dan kebinekaan. Melalui tema “Faith, Fraternity, and Compassion”, Indonesia memiliki kesempatan untuk menunjukkan pada dunia bahwa perbedaan dapat menjadi sumber kekuatan, bukan perpecahan. Konflik yang terbentuk oleh polarisasi, intoleransi, dan diskriminasi perlu digerus dalam berbagai tingkatan agar pesan kasih persaudaraan umat beriman dapat terus dibahasakan dalam harmoni. Semoga momentum ini menjadi langkah awal menuju Indonesia yang lebih toleran, damai, dan makmur bagi seluruh warganya, tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau golongan.

Facebook Comments