Kurban dan Penyembelihan Fanatisme: Refleksi Filosofis dan Historis

Kurban dan Penyembelihan Fanatisme: Refleksi Filosofis dan Historis

- in Keagamaan
1
0
Kurban dan Penyembelihan Fanatisme: Refleksi Filosofis dan Historis

Dalam samudra intelektual Islam, setiap ritual ibadah adalah sebuah tindakan semiotik berlapis, sebuah tanda yang menyimpan dimensi esoteris (batiniyyah) yang jauh melampaui formalisme lahiriahnya. Ibadah kurban, yang kita rayakan setiap Idul Adha, adalah salah satu contoh paling agung. Ia bukan sekadar penyembelihan hewan, melainkan sebuah diskursus mendalam tentang hakikat pengorbanan, dekonstruksi fanatisme, dan penegasan kembali mandat primordial manusia sebagai Khalifah fil Ardh (wakil Tuhan di muka bumi).

Secara etimologis, kata qurbān berakar dari qaruba, yang berarti “mendekat”. Ini mengisyaratkan bahwa esensi dari ibadah ini adalah sebuah upaya vertikal untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Namun, pendekatan ini meniscayakan sebuah proses purifikasi internal. Sejarah kurban yang berakar pada ketundukan total Nabi Ibrahim AS sejatinya merupakan sebuah arketipe tentang “penyembelihan” yang lebih subtil: penyembelihan ego, keterikatan duniawi, dan rasa kepemilikan. Al-Qur’an sendiri menegaskan dalam Surah Al-Hajj ayat 37 bahwa bukan darah atau daging yang sampai kepada Allah, melainkan ketakwaan. Di sinilah letak fondasi filosofisnya: keadaan batinniyyah dan kesadaran spiritual menjadi jauh lebih penting daripada gestur ritualistik semata. Tindakan ini menjadi metafora perjuangan batin melawan sifat-sifat tercela, di mana prioritas utamanya adalah penyucian.

Pada titik inilah kita menemukan antitesis dari semangat kurban, yaitu fanatisme. Dalam terminologi Arab, fanatisme dikenal sebagai ta’aṣṣub, yang secara linguistik menyiratkan dukungan buta terhadap suatu kelompok atau gagasan, tanpa memedulikan benar atau salah. Ia seringkali beriringan dengan ghuluw, yakni melampaui batas-batas yang ditetapkan agama. Sikap ini lahir dari ego yang membengkak, arogansi intelektual, dan klaim kebenaran yang eksklusif—sifat-sifat yang justru ingin “disembelih” melalui ibadah kurban. Islam secara tegas mengutuk ekstremisme dan menyerukan jalan tengah atau moderasi (wasaṭiyyah), yang dicirikan oleh keseimbangan (tawāzun), toleransi (tasāmuḥ), dan keadilan (i‘tidāl). Fanatisme, dengan demikian, adalah sebuah penyimpangan yang merusak tatanan sosial, menimbulkan perpecahan (tafarruq), dan pada hakikatnya merupakan sebentuk kezaliman (ẓulm).

Sejarah kenabian memberikan konteks hidup bagaimana semangat kurban diterjemahkan menjadi aksi nyata. Kisah Nabi Ibrahim a.s. adalah arketipe universal tentang penyerahan total, namun dalam kehidupan Nabi Muhammad saw., kita menemukan implementasi sosio-politisnya.

Momen paling ikonik adalah saat Haji Wada’ (Haji Perpisahan). Setelah menyembelih hewan kurbannya, Rasulullah saw. menyampaikan khotbahnya yang monumental. Di hadapan lautan manusia, beliau tidak hanya berbicara tentang ritual, tetapi meletakkan fondasi peradaban: kesucian darah dan harta, kesetaraan antar manusia, dan peringatan keras agar tidak kembali kepada “kekafiran setelahku, di mana sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain.” Ini adalah sebuah pesan yang dahsyat: ritual penyembelihan hewan harus segera ditindaklanjuti dengan komitmen untuk menghentikan “penyembelihan” antar sesama manusia. Semangat kurban secara langsung diikat dengan larangan atas kekerasan dan perpecahan—antitesis dari fanatisme.

Sebelum itu, dalam Perjanjian Hudaibiyah, kita menyaksikan “penyembelihan ego” dalam skala kolektif. Rasulullah saw. menerima syarat-syarat yang secara lahiriah tampak merugikan kaum Muslimin demi tujuan yang lebih besar: perdamaian dan terbukanya jalan dakwah. Beliau “menyembelih” kebanggaan dan sentimen komunal para sahabat yang membara demi sebuah kemenangan yang nyata. Inilah puncak pemahaman kurban: pengorbanan kepentingan parsial demi kemaslahatan universal, sebuah tindakan yang mustahil dilakukan oleh seorang fanatik.

Pada akhirnya, ketiga perspektif ini bertemu pada satu titik: mandat kekhalifahan. Konsep Khalīfah fil Ardh menuntut manusia untuk menjadi agen aktif pemakmuran, penegak keadilan, dan penjaga keseimbangan. Mandat agung ini mustahil diemban oleh jiwa yang terbelenggu ego dan masyarakat yang terkoyak oleh fanatisme.

Kurban, dengan demikian, berfungsi sebagai katalis spiritual dan sosial tahunan. Secara spiritual, ia adalah latihan untuk menundukkan ego, menumbuhkan kerendahan hati (tawāḍu’), dan menginternalisasi semangat pengorbanan—vaksin paling mujarab melawan virus arogansi fanatik. Secara sosial, ia adalah mekanisme untuk merajut kembali tenun masyarakat, memastikan tidak ada yang tertinggal, dan mengubah teologi menjadi aksi sosial yang nyata, sebagaimana terus digaungkan oleh para pemikir seperti M. Quraish Shihab serta dipraktikkan dalam skala besar oleh institusi seperti NU dan Muhammadiyah. Kurban adalah sebuah ritual perekat sosial yang luar biasa. Mengacu pada gagasan Émile Durkheim tentang collective effervescence, ritual kurban yang dilakukan serentak oleh jutaan Muslim di seluruh dunia menciptakan kesadaran kolektif dan memperkuat ikatan komunal (ukhuwwah).

Facebook Comments