Pendidikan sudah menjadi rumah kedua bagi masyarakat diseluruh Dunia. Berbagai macam pola pendidikan dan pengaruh arus globalisasi juga ikut mewarnai dunia pendidikan. Berdiskusi masalah dunia pendidikan tidaklah sempit, pasalnya pengetahuan tidak hanya dapat diraih didalam kelas-kelas institunsi formal seperti sekolah dan perguruan tinggi.
Tidak terkecuali di Indonesia, dewasa kini tengah berkembang pola-pola pendidikan non formal seperti Home Schooling, yaitu pola pendidikan adopsi dari luar negeri sebagai contoh sistem pendidikan yang dianggap bagus seperti Singapura, Jepang, Amerika sampai Australia sebagai upaya proses modernisasi dunia pendidikan yang tidak mengandalkan institusi formal, tapi tetap bisa dilakukan dirumah mengikuti kurikulum yang sedang berlaku.
Pola-pola pendidikan serti itu biasanya dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan terhadap fenomena negatif yang umumnya terdapat pada institusi formal, seperti adanya bullying, sampai kekerasan seksual yang terjadi didalam dunia pendidikan formal.
Hal tersebut tebukti, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat mayoritas korban masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Seperi dikutip dari Tempo.co, Komisioner Bidang Pendidikan (KPIA) Retno Listyarti mengatakan korban kekerasan seksual di tahun 2018 awal sebanyak 154 korban, yaitu 122 anak laki-laki dan 32 anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. “Pelakunya laki-laki semua,”ujarnya, Rabu (02/05/2018).
Dengan demikian kesadaran yang harus dibangun bahwa prestasi bukanlah angka-angka yang didapat pada ujian akhir, atau merah dan birunya rapor. Melainkan adanya kesadaran akan pentingnya sebuah kurikulum berdasarkan kompetensi. Kelas-kelas pendidikan formal memang tempat mencari ilmu, tapi kelas- kelas itu bukanlah satu-satunya.
Begitu juga dengan perkembangan teknologi, internet sudah menjadi media utama dalam mencari pengetahuan yang efektif. Kebutuhan internet ini semakin meningkat dari hari kehari, banyak pihak mulai dari perorangan, badan usaha, pemerintah, perusahaan, bahkan lembaga pendidikan. Pembelajaran elektronik (e-learning) online merupakan bagian dari pendidikan jarak jauh secara khusus menggabungkan teknologi elektronika dan teknologi berbasis internet.
Hal tersebut memberikan peluang maupun tantangan baru dalam dunia pendidikan formal maupun non formal. Peluang baru akses yang lebih luas terhadap pengetahuan terhadap konten multimedia yang lebih kaya dan berkembangnya metode pembelajan baru yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tetapi perkembangan tersebut juga harus disaring kembali jangan sampai perkembangan teknologi berbasis online dapat memberikan dampak negative, seperti paham radikalisme dan terorisme.
Terlepas dari itu semua masyarakat dan berbagai lapisan elemen peserta didik formal maupun non formal harus berhati-hati terhadap pengetahuan didunia online terhadap issue yang berkembang Paham radikalisme dan terorisme yang tidak bertanggung jawab, karena masyarakat moderen saat ini sudah harus pandai mencerna sebuah pengetahuan yang ada dimedia online.
Kedepannya, Negara harus lebih memberikan arahan tentang literasi kemediaan, masyarakat perlu memahami adanya korespondensi antara kenyataan (real world), dengan kenyataan yang direpresentasikan oleh media atau paham radikalisme dan terorisme. Bahwa beberapa media dalam merepresentasikan pengetahuan telah melakukan serangkaian kegiatan mulai dari mendesain, memilih, menyeleksi dan mengedit fakta yang ada.
Benar yang dikatakan Aufderheide bahwa, media pada eksistensinya ialah masyarakat sebagai alat komunikasi yang menjadikan media dikonstruksi oleh lingkungannya, baik itu lingkungan sosial, ekonomi maupun golongan atas paham tertentu, dalam representasi media mengontruksi realitas, perlu disadari ketika individu tidak memiliki pemahaman dan informasi tentang suatu peristiwa atau paham tertentu dari sumber atau referensi lain selain media, kemungkinan besar individu dapat beranggapan peristiwa tersebut samadengan realitasnya. Padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Seperti dengan paham radikalisme dan terorisme yang meresahkan sebagaian pembaca yang harus teliti dalam membaca informasi dan pengetahuan yang ada di dunia internet.
Dalam hal ini penting artinya mengajak individu bersikap terbuka, untuk memperluas pengetahuannya agar individu memiliki alternatif pilihan bagaimana memahami peristiwa yang ditampilkan di media. Bahwa pesan media yang berisi nilai dan ideology tertentu, masyarakat perlu tahu media mengkonstruksi nilai dan kepercayaan dalam pemberitaan, termasuk menjadi alat ideologis bagi penguasa untuk melontarkan pesan propaganda paham tertentu atau pun pemodal yang mendidik masyarakat sebagai konsumen produk-produk kapitalis.
Dengan begitu, masyarakat akan kritisi dan menanggapi pengetahuan yang disampaikan oleh media, pesan media berimplikasi paham sosial dan maupun paham radikalisme terorisme. Media sering dipahami hanya merefleksikan realitas sosial karenanya dinilai netral dan bebas nilai.
Pembelajaran media literacy diharapkan mencakup segala cara mengkaji, mempelajari dan mengajarkan pada semua tingkat (dasar, menengah, tinggi, dewasa dan pendidikan seumurhidup) dan dalam semua konteks, sejarah, kreativitas, penggunaan dan evaluasi media sebagai suatu ketrampilan teknis dan praktis sekaligus sebagai lahan yang ditempati oleh media dalam masyarakat, dampak sosialnya, implikasi komunikasi bermedia, partisipasi, modifikasi modus dari persepsi yang dihasilkannya. Semua yang harus dipelajari dengan perkembangan pengetahuan tentang paham-paham radikalisme dan terorisme yang dapat menyesatkan cara berkomunikasi dan bertindak didalam masyarakat.